"Ada pesta diskon nih.." Saya beri kode ke suami. Berhasil! Saya dikasih sejumlah rupiah buat belanja buku. Suatu kebahagiaan besar karena suami sebenarnya nggak suka kalau saya baca novel. Kemudian saya semaput karena rupiahnya nggak cukup buat borong buku yang saya mau (sebagian besar adalah novel tentu saja :D). Terpaksalah beberapa judul saya coret. Tapi tidak dengan yang satu ini karena saya pengen ikutan lombanya :D
Oke here it is...
Judul Buku: Macaroon Love, Cinta Berjuta Rasa
Penulis: Winda Krisnadefa
Penyunting: Rini Nurul Badariah
Penerbit: Qanita
Tahun terbit: Maret 2013, cetakan pertama
Jujur saja, saya mengira kalau novel ini berkisah tentang percintaan dengan serba-serbi macaroon. Ada filosofis macaroonnya, step by step-nya, sampai menaranya. Dan...saya ternyata mendapatkan kentang goreng cocol sundae juga sayur oyong+ayam sambel ijo+sambal bajak+tempe mendoan. Benar-benar di luar ekspektasi saya.
Tiap kali Jodhi menelepon Magali, saya berkata dalam hati, "Sebentar lagi dia mau ngomongin macaroon nih." Eh..karena nggak nemu-nemu juga, saya berharap pada Ammar. Tiap kali Ammar muncul, saya berkata dalam hati, "Oke sekarang nih si macaroon datang."
Dan...dia memang datang ketika Magali browsing dan sewaktu dia di Australia. Tapi jika itu kemudian jadi perwakilan dari novel ini (sehingga dijadikan judul), saya rasa ga ya. Maaf lo, Mba Winda :)
Lalu tanpa sengaja sewaktu sedang berselancar (aih...), saya baca beberapa ulasan novel ini dari orang-orang yang sepertinya kawan baik Mba Winda. Barulah saya tahu kalau novel yang berhasil masuk dalam karya unggulan Lomba Penulisan Romance Qanita ini awalnya berjudul "Magali Chronicle". Pahamlah saya mengapa ceritanya memang fokus di Magali dengan segala dirinya. Tapi saya masih ga ngerti kenapa berubah menjadi "Macaroon Love" karena menurut saya, kentang cocol sundae lebih mewakili :D
Baiklah, sekarang kita ngomongin isi novelnya ya. Ceritanya sederhana. Magali, perempuan yang tak pernah suka dengan nama yang diberikan Jodhi, ayahnya, mengalami kehidupan yang stagnan dan es-te-de. Profesinya sebagai food writer paruh waktu di majalah Free Magazine Kemang Bintaro tak jua meningkat. Tapi dia juga tak berontak untuk meminta perbaikan posisi atau bersikap ekstrem hengkang dari kantor tersebut. Padahal Magali tidak mencintai pekerjaannya (hal. 27) walaupun dia suka dunia kulinari.
Magali merasa nyaris semua tempat makan yang menjadi objek liputannya berpaham senada: standar, mainstream. Sampai kemudian dia menemukan "Suguhan Magali" milik Ammar. Restoran yang mengejutkannya karena memiliki nama yang sama dengan dirinya. Nama yang tak pernah disukainya lantaran sedari kecil jadi bahan ejekan kawan-kawan. Menurutnya, restoran Ammar itu tidak biasa, punya ciri khas memberi sentuhan personal di setiap sajiannya.
Bukan hanya itu. Magali yang telat puber bisa merasakan virus merah jambu dengan Ammar. Bertahun-tahun hidup bersama Beau tak jua menularkan rasa jatuh cinta. Padahal dia bisa dengan mudah menyontek cara sepupunya itu mendapatkan pacar. Tapi dengan Ammar, Magali mau diidapi virus merah jambu walaupun ia sangkal dan merasa direpotkan lantaran ucapan Nene, "Jatuh cinta itu rasanya seperti bukan dirimu" (hal. 115).
Perjalanan Magali menemukan apa yang sebenarnya ia inginkan ternyata harus melalui jalan kelabu. Hubungan eratnya bersama Beau melonggar, kepulangan Jodhi yang mendadak membuatnya mendung.
Tapi Tuhan memang tak pernah tidur. Kegigihan Magali membuahkan hasil. Induk usaha tempatnya bekerja lantas menyediakan tempat baginya sebagai penanggung jawab majalah kuliner dan itu memberi kesempatan besar padanya untuk menjadi food writer sebenarnya. Saat itu pula Magali mendapatkan cinta. Pada siapakah virus merah jambunya menjangkit? Bagaimana kemudian hubungannya dengan Beau dan Ammar?
Saya baru baca cerita cinta yang manis dengan kemasan kuliner. Selama ini yang pernah saya baca biasanya memasukkan unsur makanan ke dalam percakapan dalam novel. Beberapa sih seputar kopi. Makanya seperti di awal saya tuliskan; saya pikir karena judulnya menggunakan nama makanan dan profesi pemeran utamanya seorang food writer maka akan bertaburan aneka filosofis berkaitan dengan makanan, minimal yang terkait judulnya.
Novelnya ringan dan mewakili kegalauan wanita muda di pertengahan usia 20-an yang berdiri di antara kebosanan dan kebutuhan hidup. I've been there. Ups, curcol. Dari awal Mba Winda menyusun apik setiap peristiwa menjadi rangkaian cerita yang enak dinikmati. Hanya saja di bagian akhir terlalu terburu-buru. Padahal kan bisa jadi cerita sendiri tuh gimana Magali di tempat baru dan juga Rumah Magali. Ah ya, kepulangan Jodhi kenapa harus seperti itu sih? (Ngedumel deh jadinya karena ga rela :p)
Over all ini adalah novel yang manis. Ringan, bahasanya ga ribet, dan menyenangkan. Tipikal novel tanpa banyak tokoh dengan karakter yang kuat. Deskripsi tiap tokoh singkat; lebih banyak tergambar pada saat berdialog. Nice! Mungkin kelak Mba Winda membuat Beau Chronicle sebagai sekuelnya. Asik tuh, Mba cerita soal BBB (Budak Bangor Bandung).
Quote yang dalem banget nih "Wishing something on your birthday upon your cake is bullshit! Kalau lo mau sesuatu, lo harus usaha, bukan berharap di depan lilin!" (hal. 28). Kalimat penutupnya juga manis banget. Tapi ga akan saya copas ah biar pada penasaran. Hehe.. Clue-nya udah ada di judul resensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar