Senin, 30 Desember 2013

Memilih Bahagia (Sebuah Review Novel The Mocha Eyes)

Senang sekali sewaktu membeli buku ini. Kenapa? Karena saya mendapat potongan harga dari si penjaga toko. "Saya kasih potongan harga buat Ibu," kata si mas-mas penjaga toko. Katanya, karena saya sering berkunjung dan membeli buku di tokonya. Wah terharu...padahal saya adalah pembeli yang gemar buku obralan di boks, jarang beli yang di rak. Hehehe, maafkan saya wahai para penulis...


Judul buku: The Mocha Eyes
Penulis: Aida MA
Penyunting: Laurensia Nita
Penerbit: Bentang
Tahun Terbit: Mei 2013, cetakan I


"Bahagia itu sekarang, Ara! Di sini, menunggumu dengan senyuman." (Halaman 83)

Benar, bahagia itu pilihan dan hanya ada sekarang, saat ini. Ketika memilih bahagia, maka langkah akan ringan dan kebahagiaan itu akan menebar, melebar, menyempurna. Ini berdasarkan pengalaman pribadi maka saya sangat setuju dengan ucapan ibunda Muara itu.

Usai membaca novel ini beberapa waktu lalu, saya mendapati berita kehamilan seorang mahasiswi lantaran eksploitasi seksual oleh salah satu budayawan ternama. Peristiwa itu membuka mata saya. Perempuan begitu rentan hancur dan dihancurkan.

Saya yakin perempuan seperti Muara tidak sedikit; perempuan korban pelecehan seksual. Sebagian berani melaporkannya pada polisi seperti RW dalam kasus di atas. Tapi lebih banyak lagi seperti Muara yang menarik diri, menyalahkan diri, merasa dunia tak adil padanya, menjauh dari dunia yang pernah menjadi miliknya. Mereka berjuang mengalahkan dirinya, mengentaskan amarahnya, memaafkan diri dan masa lalu.

Itu tidak mudah. Prosesnya bisa sangat panjang. Traumanya tak bisa hilang. Satu kehidupan telah hancur. Muara berhenti kuliah dan memilih menjadi pekerja apa saja, tanpa ambisi, tanpa harapan. Sekadar berupaya hidup normal.

Meski ada ibu yang tak henti mendorong keluar dari kegelapannya, Muara tetap bergulung dalam sedihnya. Ia memilih seperti itu. Memiliki Damar sebagai kekasih juga tak membuatnya bahagia. Bahkan kemudian membuat luka lain dalam hati Muara. Semakin ia bergelung dalam pekat.

Sampai kemudian Fariz, seorang motivator, memberinya moka. "Kalau kamu mengandaikan hidupmu sebagai kopi yang pahit, sekalipun ada hari yang manis, kamu akan tetap merasa pahit. Begitu juga bagiku, hidupku itu seperti cokelat yang gurih. Maka, sekalipun ada yang pahit, aku akan mencoba menetralisasi. Kalau kamu terlalu sulit untuk memahami maka aku memberikan jembatan ini.... Cangkir yang menghubungkan dua hal ini, kopi dan cokelat untuk menjadi moka. Dua cangkir ini hanya untuk menggambarkan hidup secara lebih realistis meski membingungkan, ada pahit dan ada gurih. Hidup itu secangkir moka!" (halaman 139)

Moka secara fisik dan juga filosofis. Keduanya diberikan Fariz pada Muara. Di sinilah gerbang hidup Muara kembali bersinar. Ia tak lagi menutupi dirinya. Fariz mendapatkan kepercayaan darinya juga cintanya. Muara tidak kembali seperti dulu tapi menjadi Muara yang baru. Saat itulah ia sadar, Fariz bukan hanya miliknya.

Seorang motivator favorit klien itu memiliki Meisha, perempuan cantik nan cerdas yang selalu berada di sisinya. Akankah kemudian Muara kembali terpuruk dan menutup gerbang hidupnya yang baru saja bersinar? Bagaimana cara Muara memilih bahagia?

Sebuah kisah yang emosional. Pergolakan batin seorang korban pelecehan tergambar baik. Perubahan karakter Muara yang semula ramah dan ceria kemudian menjadi antisosial bisa saya rasakan. Begitu juga saat Muara kembali menjadi sosok yang baru. Peralihan suasana cerah ke muram lalu kembali bersinar perlahan pada diri Muara saya acungi jempol. Hanya saja pada sosok Fariz, saya tidak merasa ia adalah tokoh yang membumi. Dia seperti tokoh dalam televisi. You know, he's too good to be true.

Tokoh ibu saya suka. Dapat dirasakan keteguhan hatinya dan kesabarannya yang tinggi. Ibu semacam itulah yang memang pantas menghadirkan sosok Muara. Sayangnya, tokoh Maya tak diketahui rimbanya. Saya rasa, tokoh itu bisa lebih hidup dalam proses atau mungkin saat Muara berhasil keluar dari kegelapannya. Karena disebutkan penulis, Maya adalah tokoh yang tulus.

Over all, The Mocha Eyes adalah novel yang manis dan filosofis. Banyak pesan yang terkandung di dalamnya tanpa merasa dihakimi. Termasuk kampanye anti rokok. Bahasanya ringan dan mengalir, khas Mbak Aida M.A. Konflik dan pemecahannya rapi tersusun. Nyaman membacanya.

Sebenarnya saya bukan pembaca yang rewel dengan typo atau keganjilan adegan. Tapi untuk yang satu ini, saya terus memikirkannya lantaran geregetan. Apakah penulis salah mengetik atau saya salah menggambarkannya karena saya adalah pembaca yang visual; selalu membayangkan apa yang dideskripsikan penulis.

Pada halaman 156 tertulis Fariz menyalakan mesin mobilnya lagi, membayar uang parkir, kemudian mengemudikan mobilnya menuju rumah Mei. Fariz membiarkan wanita itu terus saja menyandarkan kepalanya di lengan kanan Fariz.

Adakah yang merasa ganjil dengan deskripsi dua kalimat tersebut? Kalau saya, merasa aneh dengan posisi lengan yang menjadi sandaran kepala si wanita. Pasalnya mobil yang dikendarai Fariz menurut penulis di halaman 144 adalah mobil keluaran Jepang. It means, posisi pengendara ada di sebelah kanan mobil. Jika Fariz menyetir, maka di sebelah kanannya adalah pintu mobil. Jadi, bagaimana mungkin si wanita yang menumpang menyandarkan kepalanya di lengan pengemudi?

Dan satu lagi yang membuat saya gemas. Mengapa harus lagu When I Found You dari Britney Spears yang menjadi pengiring nuansa Fariz di halaman 141? Karena menurut saya, dengan karakter yang tergambar, Britney Spears bukanlah pilihan penyanyi yang tepat untuk Fariz (he's early 30 years old and so masculine). Apalagi kemudian saat berdua bersama Muara di halaman 233, lagu yang diputarkan Fariz adalah You're all That I Need milik White Lion. Saya rasa I Finally Found Someone-nya Bryan Adams dan Barbra Streisand lebih mewakili tinimbang lagunya Britney.

Sabtu, 30 November 2013

(Resensi 12 Menit) Berjuang Sampai Menang

Buku ini diawali sebuah ayat yang diambil dari Al Quran. Surat Al Ra'd ayat 11 yang berarti "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sebuah bangsa sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri". Ayat ini mewakili isi novel yang disadur dari kisah nyata perjuangan tim Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT). Kisah yang dirancang apik dalam novel "12 Menit".  

Uniknya, di sampul depan sudah ada secarik pesan: "nantikan filmnya". Biasanya, novel best seller atau novel yang memikat sineas muncul beberapa lama sebelumnya kemudian divisualkan dalam wujud film. Tapi ini, baru cetakan pertama sudah dilabeli seperti itu. Saya dibuat heran karena ini di luar kebiasaan. Ternyata novel ini adalah adaptasi dari skenario film "12 Menit untuk Selamanya". Penulisnya adalah penulis skenario film tersebut, Oka Aurora. Ia berkejaran menulis novel dalam masa syuting film karena novel harus terbit sebelum filmnya diputar di bioskop-bioskop.  

Saya menyebut novel ini sebagai hidangan pembuka film. Seperti halnya hidangan pembuka, novel pertama Oka bersifat membangkitkan selera. Tentu saja tidak mengenyangkan tapi membuat saya bersiap pada hidangan utamanya. Saya seperti halnya kebanyakan pembaca novel, suka ragu dengan film yang diangkat dari novel. Sering kali tak sesuai gambaran imajinasi. Untuk menjembatani pembaca seperti saya, sepertinya sengaja ditampilkan foto-foto pada sampul bagian dalam. Di sana ada Elaine, Tara, Lahang, dan Rene juga teman-teman MBBPKT yang tengah berlatih. Foto-foto itu adalah potongan gambar film sesungguhnya.  

"12 Menit" bercerita tentang perjuangan MBBPKT menjadi juara dalam ajang Grand Prix Marching Band (GPMB) di Istora, Jakarta. Lika-liku setiap anggotanya untuk bisa mengalahkan diri mereka sendiri agar dapat menyatu bersama tim dan mewujudkan impian bersama.  

Rene, pelatih MBBPKT adalah orang yang paling ingin mewujudkan impian yang mustahil itu. Ia sudah beberapa kali membawa tim marching band yang dilatihnya meraih juara di ajang nasional maupun internasional. Bahkan sebelum ke Bontang, tim marching band asuhannya di Jakarta menjadi juara GPMB tiga kali berturut-turut. Kali ini ia mendapat tantangan terberat selama menggeluti profesinya. Rene harus melatih satu tim yang berasal dari pelosok, bukan anak-anak kota yang biasa ia latih. Ia tak hanya harus melatih kemampuan bermain musik, tapi juga membangkitkan rasa percaya diri mereka. Anak-anak berlian yang merasa kecil karena berasa dari kota kecil.  

Tara salah satunya. Ia adalah pemain drum. Daya dengarnya yang tinggal 10-20 persen membuatnya kesulitan berharmoni dengan tim. Tapi masalah utamanya bukan itu. Tara punya trauma masa lalu yang menyebabkan pendengarannya berkurang. Trauma itu membuatnya keras pada diri sendiri dan tidak mau memaafkan. Ia kecewa dan mengecewakan orang-orang tercintanya.  

Lahang pun demikian. Ia tidak bisa memaafkan dirinya andai harus kehilangan bapak tanpa ia ada di sisinya. Lahang, penari berbakat dan menjadi andalan menari solo dalam tim, menghadapi dilema. Bapaknya, tetua adat Dayak, sakit keras menjelang kepergian anak semata wayangnya ke Jakarta. Meraih impiannya di Jakarta atau menemani ayahnya menjelang ajal adalah pilihan yang berat. Keduanya penting bagi Lahang. Ke Jakarta adalah juga mewujudkan impian mendiang ibundanya; sedangkan menemani ayah adalah juga tekadnya setelah pada kematian ibu, ia tak sempat menemani di penghujung hidupnya.  

Memilih juga hal tersulit bagi Elaine. Dia selalu mendapatkan tekanan berat dari ayahnya, Josuke Higoshi. Bahkan ketika ia sudah memenuhi kemauan ayahnya, masih saja itu belum cukup. Maka ketika ia memilih marching band daripada olimpiade Fisika, mengharukan saya. Perlu keberanian besar seorang Elaine memutuskannya. Dan benar saja, Josuke tak menyetujui pilihan anaknya bahkan menarik paksa Elaine dari lapangan saat gladi resik. MBBPKT terancam tak memiliki field commander dalam ajang GPMB di Jakarta.  

Kisah-kisah ini mewakili 130 anggota tim MBBPKT yang harus mengalahkan diri mereka dulu sebelum berjuang bersama tim. Saya suka dengan pilihan Oka yang menuliskannya dalam kalimat-kalimat pendek dan efektif. Hebatnya, saya tidak menemukan typo alias kesalahan ketik. Meski saya pembaca yang toleran dengan typo, tapi mendapati novel yang mulus seperti ini menyenangkan mata.  

Penceritaan yang to the point dan menghadirkannya dalam bab-bab pendek, memudahkan saya memvisualisasikannya dalam benak (ini kebiasaan saya kalau baca novel). Karena jalinan alurnya tidak terlalu cepat, maka bab-bab pendek ini tak membuat saya kelelahan membaca. Ditambah, kalimat-kalimat mutiara yang motivatif bertebar di hampir seluruh bab. Membuat saya kadang harus diam sejenak, meresapi kalimat-kalimat itu, sebelum kemudian melanjutkan membaca. Dan, itu sukses membuat saya membaca ulang lalu menandai kalimat-kalimat itu.  

"Berapapun waktu yang diberikan, tak seharusnya dihabiskan dengan ketakutan, sambung bapaknya lembut, "karena ketakutan, anakku, tak akan pernah menyambung hidupmu. Yang akan menyambung hidupmu, hanya keberanian." (halaman 104)  
"Tak ada pelaut tangguh yang dilahirkan oleh laut yang tenang." (halaman 140)  
"...hadapi masalahmu satu per satu. Selesaikan satu demi satu. Menghabiskan sepiring nasi nggak mungkin dalam sekali telan kan?" (halaman 258)  

Membaca novel ini membuat saya geregetan. Konflik yang dihadirkan berlapis terkadang bikin sebel. Seakan sudah selesai dan berekspektasi akan menikmati cerita yang manis-manis, eh muncul masalah lain dan itu bukan mengada-ada. Karena sebenarnya kalau mau cermat, potensi konfliknya sudah dihadirkan pada bagian-bagian sebelumnya.  

Meskipun tampaknya pesan yang disampaikan serius, Oka menyampaikannya dengan ringan. Malahan ada bab yang full bikin saya terbahak, bab 45. Istilah-istilah marching band tak membuat saya pening. Glosarium di bagian belakang malah saya telusuri usai menyelesaikan membaca novelnya. Dengan menerka-nerka istilah-istilah tersebut sambil menyesuaikan dengan narasi atau deskripsi yang dituliskan, lebih menyenangkan bagi saya yang buta istilah marching band dan musik.  

Berjuang memang akan selalu ada dalam tahapan hidup manusia. Bahkan untuk menaklukkan istilah-istilah dalam marching band tanpa menengok Glosarium. Hehehe. Sepahit apapun perjuangan, akan menerbitkan manis, cepat ataupun kelak. Yang terpenting, siapkan diri menjadi tangguh. Maka benar adanya bila Oka menuliskan ini dalam bukunya:
"Perjuangan terberat dalam hidup manusia adalah perjuangan mengalahkan diri sendiri. Buku ini adalah bagi semua yang memenangkannya."  
Vincero!                  

Judul buku: 12 Menit
Penulis: Oka Aurora
Penggagas cerita: Regina Septapi
Penyunting: @me_dorry dan @shinta_read
Penerbit: Noura Books
Tahun terbit: 2013
ISBN: 978-602-7816-33-6

Senin, 21 Oktober 2013

Kami Memberinya Nama "Pemimpin"

Tanpa pernah berunding, saya dan dua kawan semasa kuliah memberikan nama Malik pada putra kami masing-masing. Bedanya, saya menempatkan Malik di depan nama anak sementara kawan-kawan saya menempatkannya di tengah dan di belakang nama anak mereka. Benar, kami semua memberi tiga kata pada nama anak kami masing-masing. Nama anak saya Malik Muhammad Faiz sedangkan nama anak kawan-kawan saya Baja Malik Syahid dan Karim Abdul Malik.

Malik berasal dari Bahasa Arab yang berarti Raja, Penguasa, Pemimpin, Pemilik atau Yang Memiliki. Banyak kata Malik dalam Al Quran. Salah satunya yang terkenal adalah “Malikinnaas” (QS Annas:2) yang artinya Raja Manusia dan “Maalikiyawmiddiin” (QS Al Fatihah:4) yang berarti Pemilik hari pembalasan.

Sepertinya, saya (dan dua kawan saya tersebut) menginginkan, mendoakan agar putra pertama kami menjadi pemimpin kelak. Pada dasarnya setiap manusia memang pemimpin bagi dirinya sendiri. Bahkan bagi kaum laki-laki, mereka adalah pemimpin bagi kaum perempuan (tertuis dalam QS Annisa:34). Ah, ya. Malik kami semuanya adalah anak pertama. Jangan-jangan karena itulah kami menamai anak sulung kami Malik. Hehehe.

Khusus untuk Malik anak saya, kami memanggil dia dengan nama akhirnya, Faiz yang berarti “Yang beruntung”. Dengan memanggilnya berulang-ulang, insya Allah menjadi doa agar ia menjadi orang yang beruntung di kehidupannya, baik di dunia dan di akhirat. Amin.


Faiz tak begitu saja hadir ke dunia ini. Tak seperti rangkaian hidup manusia pada umumnya yang langsung mengandung sesaat setelah menikah. Saya dan suami harus menunggunya sampai tiga tahun. Itupun dengan proses yang tak mudah. Saya dan suami mengupayakan terapi agar bisa memiliki keturunan. Caranya dengan mengubah pola makan dan bergaya hidup sehat. Kami, terutama saya yang hendak mengandung, harus mau memilah-milah makanan alias berpantang. Saya tidak diperkenankan mengonsumsi makanan sampah, makanan cepat saji, serta sambal botolan. Saya wajib memakan makanan rumahan yang segar.

Repot? Jelas. Tapi alhamdulillah saya mendapat dukungan dari keluarga. Eh, tapi saya juga tetap mendapatkan komentar sinis. “Hamil kok menderita begitu?” Hehehe barangkali ia melihat saya menderita karena harus memastikan apakah yang saya konsumsi sehat atau tidak. Terbukti, tiga bulan menjalani terapi, saya hamil. Selama kehamilan saya tetap melakukan pantangan. Saya menambahkan susu ibu hamil dan vitamin dari bidan. Buat saya bukanlah suatu hal yang merepotkan apalagi membuat saya tak bahagia. Saya menganggapnya sebagai upaya memilihkan nutrisi terbaik untuk anak, calon pemimpin masa depan. Jadi persiapannya sudah sejak sebelum hamil. Begitu dia lahir, saya sudah terbiasa memberikannya makanan yang sehat.

Saya memutuskan berhenti bekerja di tahun ke dua pernikahan. Saya berniat menjadi sekolah yang baik untuk anak-anak kami. Menurut pepatah ulama, ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya. Sejak sebelum hamil, saya rajin membaca-baca berbagai artikel parenting. Salah satu yang saya suka adalah menanamkan kecintaan membaca buku sejak dini. Saya membeli buku-buku cerita anak balita dengan berbagai tema. Saat hendak tidur siang dan malam, sering kali saya membacakan satu sampai lima cerita. Perlahan, anak saya hafal cerita yang disenanginya.

Satu hari Faiz mengambil buku cerita yang biasa dibacakan. Iapun “membaca” buku tersebut sesuai dengan ceritanya. Bahkan halaman yang dibukanya sesuai dengan teks cerita. Memang, saya tak mengubah apapun dalam bercerita. Saya hanya membacakannya. Tidak berkreasi menambah-nambahkannya dengan cerita atau tokoh lain. Pasalnya, pangeran kecil saya itu bisa minta dibacakan sampai lima cerita sekali baca. Sementara saya cenderung pelupa. Jadi, saya memilih jalan aman: membaca sesuai teks dengan intonasi yang sama. Ternyata hal itu membuat dia cepat hafal ceritanya. Apalagi bila cerita tersebut ia suka.

Selain “membacakan” cerita kepada saya, Faiz juga menceritakannya pada orang-orang di rumah. Saat kakak ipar saya merekam via ponsel, dengan sedikit malu-malu ia bercerita tentang mobil balap, salah satu cerita kesukaaannya.

Kebiasaan ini membuatnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Terkadang diksi yang ia pilih tak lazim digunakan anak seusianya (sekarang ia berusia 3 tahun 8 bulan). Misalnya ketika dia tiba-tiba bercerita tentang khayalannya. “Faiz terkulai di dekat teman Faiz. Teman Faiz marah deh! Dia melancarkan tubuh lalu tidur, terus bangun dengan ceria, terus main dengan Faiz, terus sampai di gedung tinggi. Terus Faiz melawan teman Faiz. Teman Faiz sedih deh. Dia berada di mata.”

Selain membacakan cerita, saya mulai melatihnya membuat cerita. Sering kali ia enggan dan saya tak memaksanya. Saya rasa ia berpotensi membuat cerita yang baik. Salah satunya sudah kami buat bersama di sini.

Jika menilik pada ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, maka ada tiga peran pemimpin. Pemimpin haruslah ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani. Artinya, pemimpin haruslah mampu menjadi suri teladan, menggugah semangat serta memunculkan inovasi, dan memotivasi, memberikan kepercayaan kepada mereka yang dipimpinnya.

Jadi, meskipun Malik kami sematkan di depan nama anak, tak lantas ia hanya boleh jadi suri teladan. Iapun harus mampu membangkitkan semangat, berinovasi, ikut berperan serta, memotivasi, dan percaya seperti ajaran kepemimpinan pendiri Taman Siswa tersebut.

Doa ibu selalu besertamu, Nak.


Tulisan ini diikutsertakan dalam "Lomba Penulisan Blog Peran Ibu untuk Si Pemimpin Kecil"


Minggu, 20 Oktober 2013

For The First Time

It's my first time ngeblog via bb. Semoga sukses hehehe..

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Kamis, 01 Agustus 2013

(Buku Antologi) BIRU; Sabar Hingga Akhir Waktu


Judul Buku: Biru, Sabar Hingga Akhir Waktu
Penulis: Leyla Hana, Eni Martini, Linda Satibi, dkk (Rima Ria Lestari juga ada lo di halaman 156 :D)
Editor: Nafi' Fitriana, Rachmi N. Hamidawati
Penerbit: Selaksa Publishing
Tahun terbit: Ramadhan 1434 H/ Juli 2013, cetakan pertama
ISBN: 978-979-8340-21-5


Yippie! Lahiran buku lagi! Masih antologi sih, tapi senangnya tetap ga bisa dibendung ;)

Lumayan lama juga perjalanan buku ini sampai lahir. Audisinya tertutup di grup Be A Writer. Ini adalah buku antologi pertama grup kami. Perlu waktu dua tahun mendapatkan jodoh penerbit.

Mulanya saya enggan menuliskan pengalaman kami, saya beserta ibu dan dua saudara kandung, mendampingi bapak. (Oh ya, tema besar buku ini adalah "mendampingi orang sakit"). Bukan kebiasaan kami (utamanya saya) berbagi sedih dengan orang lain. Tapi ada dorongan untuk menuliskannya. Pikir saya waktu itu, buat dokumentasi karena memang belum pernah saya menuliskannya.

Alhamdulillaah lancar jaya saya menuliskan pengalaman kami. Panjang sekali. Maklum, pengalaman selama dua puluh tahun pastinya banyak yang merasa perlu dituliskan. Saya kelelahan sendiri. Lalu saya pun jadi terdorong untuk bisa ikutan audisi. Saya merampingkan naskah, mempercantiknya di sana-sini. Lalu saya kirimkan dan lolos audisi.

Saya sendiri sudah mulai lupa pernah mengirimkan naskah ini. Sampai kemudian penggagas Be A Writer, Mba Leyla Hana, mengumumkan bila buku kami sudah terbit bersama Penerbit Selaksa.

Senang sekali mendapatkan kabar lahiran buku. Bapak baru selesai operasi dan masih berada di ruang ICU saat itu. Kami sedang dalam masa cemas karena belum tahu seperti apa kondisi bapak. Apakah akan seburuk yang dokter katakan atau tidak. Baca selengkapnya di Mr. Nice Guy, We Love You dan Welcome Home, Mr. Nice Guy!

So, jangan pake lama! Segera ke toko buku dan beli buku BIRU, Sabar Hingga Akhir Waktu lalu baca semua kisah yang mengharu biru ini. Oh ya, jangan ketinggalan tisu juga ya buat mengelap air mata dan i***s hehehe... Kalau ga sempat ke toko buku, beli saja di toko buku online. (Saya beli di www.eraintermedia.com)

Selamat buat kawan-kawan yang ada di buku BIRU. Saya tulis sesuai urutan di buku ya... Annisah Rasbell, Linda Satibi, Binta Al Mamba, Mugniar M, Syila Fatar, Yentri Marchellino, Santi Artanti, Nenny Makmun, Atik Herwening W, Triana Dewi, Imma R. Rusydi, Leyla Hana, Sukimah Yono, Aoi Tenshi, Rima Ria Lestari, Risma Inoy, Ayunin, Siti Nurhasanah, Ary Nur Azizah, Viana Akbari, Ikha Ummu Nabilah, Nayla Firdaus, Eni Martini, Ade Anita, dan Nining Sumarni.

(Review Novel) Macaroon Love, Sebuah Perjalanan Bahagia

"Ada pesta diskon nih.." Saya beri kode ke suami. Berhasil! Saya dikasih sejumlah rupiah buat belanja buku. Suatu kebahagiaan besar karena suami sebenarnya nggak suka kalau saya baca novel. Kemudian saya semaput karena rupiahnya nggak cukup buat borong buku yang saya mau (sebagian besar adalah novel tentu saja :D). Terpaksalah beberapa judul saya coret. Tapi tidak dengan yang satu ini karena saya pengen ikutan lombanya :D

Oke here it is...

Judul Buku: Macaroon Love, Cinta Berjuta Rasa
Penulis: Winda Krisnadefa
Penyunting: Rini Nurul Badariah
Penerbit: Qanita
Tahun terbit: Maret 2013, cetakan pertama

Jujur saja, saya mengira kalau novel ini berkisah tentang percintaan dengan serba-serbi macaroon. Ada filosofis macaroonnya, step by step-nya, sampai menaranya. Dan...saya ternyata mendapatkan kentang goreng cocol sundae juga sayur oyong+ayam sambel ijo+sambal bajak+tempe mendoan. Benar-benar di luar ekspektasi saya.

Tiap kali Jodhi menelepon Magali, saya berkata dalam hati, "Sebentar lagi dia mau ngomongin macaroon nih." Eh..karena nggak nemu-nemu juga, saya berharap pada Ammar. Tiap kali Ammar muncul, saya berkata dalam hati, "Oke sekarang nih si macaroon datang."

Dan...dia memang datang ketika Magali browsing dan sewaktu dia di Australia. Tapi jika itu kemudian jadi perwakilan dari novel ini (sehingga dijadikan judul), saya rasa ga ya. Maaf lo, Mba Winda :)

Lalu tanpa sengaja sewaktu sedang berselancar (aih...), saya baca beberapa ulasan novel ini dari orang-orang yang sepertinya kawan baik Mba Winda. Barulah saya tahu kalau novel yang berhasil masuk dalam karya unggulan Lomba Penulisan Romance Qanita ini awalnya berjudul "Magali Chronicle". Pahamlah saya mengapa ceritanya memang fokus di Magali dengan segala dirinya. Tapi saya masih ga ngerti kenapa berubah menjadi "Macaroon Love" karena menurut saya, kentang cocol sundae lebih mewakili :D

Baiklah, sekarang kita ngomongin isi novelnya ya. Ceritanya sederhana. Magali, perempuan yang tak pernah suka dengan nama yang diberikan Jodhi, ayahnya, mengalami kehidupan yang stagnan dan es-te-de. Profesinya sebagai food writer paruh waktu di majalah Free Magazine Kemang Bintaro tak jua meningkat. Tapi dia juga tak berontak untuk meminta perbaikan posisi atau bersikap ekstrem hengkang dari kantor tersebut. Padahal Magali tidak mencintai pekerjaannya (hal. 27) walaupun dia suka dunia kulinari.

Magali merasa nyaris semua tempat makan yang menjadi objek liputannya berpaham senada: standar, mainstream. Sampai kemudian dia menemukan "Suguhan Magali" milik Ammar. Restoran yang mengejutkannya karena memiliki nama yang sama dengan dirinya. Nama yang tak pernah disukainya lantaran sedari kecil jadi bahan ejekan kawan-kawan. Menurutnya, restoran Ammar itu tidak biasa, punya ciri khas memberi sentuhan personal di setiap sajiannya.

Bukan hanya itu. Magali yang telat puber bisa merasakan virus merah jambu dengan Ammar. Bertahun-tahun hidup bersama Beau tak jua menularkan rasa jatuh cinta. Padahal dia bisa dengan mudah menyontek cara sepupunya itu mendapatkan pacar. Tapi dengan Ammar, Magali mau diidapi virus merah jambu walaupun ia sangkal dan merasa direpotkan lantaran ucapan Nene, "Jatuh cinta itu rasanya seperti bukan dirimu" (hal. 115).

Perjalanan Magali menemukan apa yang sebenarnya ia inginkan ternyata harus melalui jalan kelabu. Hubungan eratnya bersama Beau melonggar, kepulangan Jodhi yang mendadak membuatnya mendung.

Tapi Tuhan memang tak pernah tidur. Kegigihan Magali membuahkan hasil. Induk usaha tempatnya bekerja lantas menyediakan tempat baginya sebagai penanggung jawab majalah kuliner dan itu memberi kesempatan besar padanya untuk menjadi food writer sebenarnya. Saat itu pula Magali mendapatkan cinta. Pada siapakah virus merah jambunya menjangkit? Bagaimana kemudian hubungannya dengan Beau dan Ammar?

Saya baru baca cerita cinta yang manis dengan kemasan kuliner. Selama ini yang pernah saya baca biasanya memasukkan unsur makanan ke dalam percakapan dalam novel. Beberapa sih seputar kopi. Makanya seperti di awal saya tuliskan; saya pikir karena judulnya menggunakan nama makanan dan profesi pemeran utamanya seorang food writer maka akan bertaburan aneka filosofis berkaitan dengan makanan, minimal yang terkait judulnya.

Novelnya ringan dan mewakili kegalauan wanita muda di pertengahan usia 20-an yang berdiri di antara kebosanan dan kebutuhan hidup. I've been there. Ups, curcol. Dari awal Mba Winda menyusun apik setiap peristiwa menjadi rangkaian cerita yang enak dinikmati. Hanya saja di bagian akhir terlalu terburu-buru. Padahal kan bisa jadi cerita sendiri tuh gimana Magali di tempat baru dan juga Rumah Magali. Ah ya, kepulangan Jodhi kenapa harus seperti itu sih? (Ngedumel deh jadinya karena ga rela :p)

Over all ini adalah novel yang manis. Ringan, bahasanya ga ribet, dan menyenangkan. Tipikal novel tanpa banyak tokoh dengan karakter yang kuat. Deskripsi tiap tokoh singkat; lebih banyak tergambar pada saat berdialog. Nice! Mungkin kelak Mba Winda membuat Beau Chronicle sebagai sekuelnya. Asik tuh, Mba cerita soal BBB (Budak Bangor Bandung).

Quote yang dalem banget nih "Wishing something on your birthday upon your cake is bullshit! Kalau lo mau sesuatu, lo harus usaha, bukan berharap di depan lilin!" (hal. 28). Kalimat penutupnya juga manis banget. Tapi ga akan saya copas ah biar pada penasaran. Hehe.. Clue-nya udah ada di judul resensi.


Jumat, 07 Juni 2013

CoupL(ov)e, Meniti Cinta Bersama Sahabat

Saya membeli buku ini di pameran buku pada trimester awal 2013. Saya memilih novel ini karena judulnya yang unik; CoupL(ov)e, dan tulisan pada covernya yang bikin saya tersenyum; "Bersamamu karena terbiasa atau mencinta?" Dan saya membacanya berbulan kemudian. Inilah resensinya;

Judul buku: CoupL(ov)e
Penulis: Rhein Fathia
Penyunting: Noni Rosliyani
Penerbit: Bentang
Tahun terbit: Februari 2013, cetakan I

Halya dan Raka bersahabat sejak SMA. Persahabatan antardua insan dengan karakter bertolak belakang. Halya, perempuan ceria, gaul, penuh daya khayal. Sedangkan Raka, lelaki kuper, kaku, dan selalu berpikir logis.

Adakah persahabatan lelaki dan perempuan abadi tanpa romansa? Ada. Itulah persahabatan Halya dan Raka. Begitu abadi hingga berlanjut ke pelaminan. Loh kok? Bingung? Benar, kok. Mereka menikah tanpa cinta. Pernikahan itu didasari rasa nyaman dan bertujuan mengabadikan persahabatan mereka. Makin bingung ya?

Jadi begini...

Halya dan Raka tetap bersahabat selulus SMA meski mereka kuliah di kota berbeda. Raka di Bandung dan Halya di Depok. Walau berjauhan, mereka tetap bersandar pada satu sama lain. Mereka saling membantu sampai urusan skripsi. Bahkan ketika wisuda, Halya menjadi pendamping Raka begitupun sebaliknya.

Di kampusnya masing-masing, kedua sahabat itu menemukan cinta pertamanya. Raka jatuh cinta pada Rina, teman sekelasnya yang lembut. Cinta mereka tak terucapkan namun tersampaikan. Karena prinsip Rina yang enggan berpacaran melainkan langsung menikah, Raka pun tak umbar rayu dan janji. Ia memantaskan diri untuk bisa menjadi lelaki mandiri sebelum melamar Rina. Sayangnya, ia terlambat. Rina dijodohkan dan menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya.

Sementara Halya menjadi pacar seniornya, Riki. Lelaki itu kemudian menjadi penghancur hati Halya dan membuatnya sempat pesimistis bisa menemukan lelaki yang baik. Sampai akhirnya ia bertemu Gilang. Lelaki ramah, humoris, dan senang memberi kejutan ini lantas melamar Halya. Tapi Gilang kemudian tak pernah memenuhi janjinya untuk melamar Halya pada kedua orang tuanya. Halya terpuruk.

Dalam kondisi yang sama-sama sendiri, Raka pun melamar Halya. Ia menepati ucapan isengnya pada Halya sewaktu masih SMA. "Kalau sampai umur kita tiga puluh tahun dan masih sama-sama single, aku ngelamar kamu aja."

Mereka menyadari bila pernikahan itu didasari rasa nyaman, bukan cinta. Pernikahan yang diyakini akan memperkokoh dan mengabadikan persahabatan mereka.

Benarkah begitu?

Pernikahan membuat Halya dan Raka kebingungan. Mereka tak tahu bagaimana harus bersikap, berucap, menempatkan diri dalam biduk baru tersebut. Mereka juga takut dengan perasaan yang akan muncul akibat kedekatan yang kian intens. Yang lebih kentara, mereka mulai asing satu sama lain. Jika sebelum menikah mereka bisa saling berbagi cerita dan rasa, setelah menikah justru memilih-milih rasa dan cerita untuk dibagikan. Khawatir mengungkapkannya akan membuat biduk bergoncang dan merusak persahabatan mereka yang sudah lima belas tahun berjalan.

Memberi ruang dan kelonggaran privasi serta memaklumkan kondisi pasangan menjadi pilihan cara mereka menjaga persahabatan dalam perkawinan. Bahkan ketika Rina yang tak diketahui kabarnya sejak menikah kembali hadir dalam kehidupan rumah tangga Halya dan Raka yang tengah tertatih. Begitupun Gilang di antara mereka. Menyebalkan memang menjalani pernikahan yang digelayuti CLBK (cinta lama belum kelar).

Hingga pada akhirnya hal yang dikhawatirkan Gamma dan Puput terjadi juga. --Gamma dan Puput adalah sahabat Halya dan Raka yang terkadang tanpa disadari menjadi perantara komunikasi pasangan suami istri yang bersahabat itu--

Apa sih yang paling dikhawatirkan Gamma dan Puput itu? Bagaimana Halya dan Raka menghadapinya? Betul nggak ya sahabat jadi cinta itu bisa terjadi? Di mana letak komitmen dalam pernikahan bersama sahabat ini?

Silakan baca novelnya aja deh biar nggak penasaran.

Ini novel pertama Rhein yang saya baca dan saya suka. Novel yang real. Karakter para tokoh sangat kuat. Tokoh-tokohnya bisa kita dapati di sekitar kita atau malah mungkin kita adalah salah satu dari mereka. Tampaknya sulit menentukan satu tokoh dikategorikan protagonis atau antagonis. Semua punya porsi yang sama karena memang manusia selalu punya dua sisi ini kan?

Novel yang entah bagaimana membacanya; Couplove atau Couple Love, menurut saya adalah novel proses pendewasaan. Kita disuguhkan dengan perjalanan masalah hubungan antarmanusia yang lazim dilalui dalam kehidupan kita. Rhein mengemukakan setiap masalah dalam fase kehidupan para tokoh serta solusinya (terkadang tak terselesaikan sehingga kemudian bertumpuk untuk dituntaskan) sesuai usia dan kemampuan berpikirnya. Halya dan Raka remaja tak dipaksa menjadi tua atau kekanak-kanakan ketika dihadapkan pada permasalahan hidup.

Gaya bertutur Rhein menyenangkan dan tak berbelit-belit meski agak-agak sebal dengan taburan kalimat Bahasa Inggrisnya. Tapi begitu saya baca lagi, sepertinya memang kalimat-kalimat itu yang paling pas. Jika dialihbahasakan terasa janggal dan berkurang rasa kalimatnya. Jadi it's ok.

Rhein pandai mengaduk-aduk perasaan pembaca. Gaya alur maju-mundur tak membuat bingung justru malah menghanyutkan. Dengan gaya ini, perasaan pembaca diayun-ayun dan "terpaksa" meneruskan bacaan sampai tuntas.

Meski dikategorikan dewasa, saya salut penulisnya tidak lantas jadi terseret mempertontonkan adegan dewasa. Romantisme tetap ada dan menyentuh hati. Salah satunya saat Gilang melamar Halya. Siapa yang tak klepek-klepek jika dilamar dengan gelang kaki lalu diberi kalimat manis seperti; "Semoga kamu bisa menjadi jalan surga bagi anak-anakku nanti. Bukankah surga berada di telapak kaki ibu?"

Oh ya saya menemukan satu kejanggalan. Tahun 2001 dikatakan tokohnya jalan-jalan di Mal Parijs van Java. Seingat saya di tahun itu mal belum jadi, masih dalam pembangunan. Tapi karena tidak mengganggu jalan cerita, abaikan saja ya. Atau mungkin maksudnya jalan-jalan di lahan yang akan menjadi mal; who knows.

Saya tidak tahu kalau mulanya ini adalah novel online yang di-upload Rhein di blognya. Cara yang oke buat menghimpun pembaca setia sebelum versi komplet diluncurkan. Mirip-mirip penulis yang karyanya dimuat bersambung di surat kabar kemudian dibukukan. Contohnya Parijs van Java-nya Remy Silado. Saya sempat mengkliping cerbernya di sebuah surat kabar harian dan punya novelnya kemudian.

Saya rasa novel CoupL(ov)e layak dikoleksi. Sudah cetak ulang lo! Lihat saja kalimat pembuka novelnya;

"Well, Sometimes people get married not because they're in love. They're couple, who only have some future dreams and decide to get happy life." ~CoupL(ov)e~

;)

Sabtu, 20 April 2013

Menemukan Tulus di BAW



Sejujurnya saya malu mengakui kenapa baru last minute mengikutsertakan tulisan untuk giveaway ini. Saya malu karena jarang sekali menulis sementara grup yang saya ikuti berjudul "Be A Writer". Writer, penulis; berarti ya menulis.

Mengapa saya jarang menulis? Hmm..banyak alasan yang bisa saya sampaikan. Tapi inti yang mendasar: malas (ketok kepala). Dan itu lagi-lagi membuat saya merasa tak layak berada di grup ini. Namun untuk lepas dari grup ini kok saya tidak mau. Sayang rasanya meninggalkan tempat yang nyaman ini meski saya jarang memunculkan diri.

Saban saya membuka situs Facebook, ada saja informasi menarik di grup BAW. Dan saya selalu senang membaca informasi itu. Akhir-akhir ini sering berupa pengumuman kemenangan lomba menulis, proses kreatif menerbitkan buku teranyar, update blog menuju srikandi blogger, karya-karya yang bermunculan di media massa, calon buku yang sudah di-acc penerbit, dan lain-lain yang geje juga ada :)

Terus terang, saya senang membaca informasi-informasi itu. Sungguh, tapi sekaligus minder! Mereka sudah melangkah dan terus melangkah sementara saya diam saja. Bahkan untuk berkomentar di setiap thread pun tidak saya lakukan. (Hm..kalau untuk yang satu ini, memang gaya saya. Saya tak senang banyak memberi komentar. moody)

Sampai kemudian saya terhenyak. Saya punya teman-teman baik di grup ini. Bayangkan, saya diberi hadiah karya mereka sendiri tanpa saya pernah melakukan apapun pada mereka. Dan itu tak pernah saya dapatkan ketika bergabung dengan grup manapun di dunia maya. (Ah ya, satu lagi; saya belum pernah satu kali pun bertemu muka dengan mereka. Baru satu kali bertemu Mba Elita Duatnofa untuk urusan pesanan.)

Mba Aida Maslamah memberikan novel Sunset in Weh Island dan Mba Shabrina Ws menghadiahi saya novel Always be in Your Heart.

Kata Mba Aida saya sudah membantunya di novel tersebut. Padahal seingat saya, Mba Aida hanya pernah bertanya sedikit saja kalimat dalam Bahasa Jerman. Tapi balasannya begitu indah, novel teranyar dengan tanda tangan penulisnya. Mba Shabrina juga membuat saya terharu. Saya bukan penganut perayaan hari lahir tapi mba Shabrina memberikan novel terbarunya sebagai hadiah ulang tahun. Satu-satunya hadiah ulang tahun yang saya terima tahun ini.

Dan kalau saya menengok grup, betapa ketulusan seperti dua penulis ini juga dipunyai banyak anggota di sana. Bukan hanya soal beri-memberi lo ya. Saling dukung juga sangat meriah. Ketika ada anggota memenangkan sesuatu, dia dengan senang hati berbagi dengan yang lain. Membuat kuis kecil-kecilan dengan hadiah yang membuat pemenangnya tersenyum. Berbagi keceriaan dan rezeki. Mba Windi Teguh nih yang sedang ketiban medali (menang lomba terus nih bumil). Mba Leyla Hana ketiban hadiah mesin cuci (seharga 20 juta man!) dan banyak lagi dari kuis-kuis. Mba Riawani Elyta ketiban royalti (brudulan ya novelnya terbit tahun ini).

Maka saya pun memulai lagi menulis dengan baik. Setidaknya beberapa kalimat saja setiap hari. Menulis secara harfiah soalnya laptop dalam keadaan sekarat.

Karena bingung, saya mulai dengan resensi buku saja. Ada beberapa buku yang ditulis kawan-kawan BAW. Tapi sepertinya saya harus membacanya lagi supaya tahu isinya dengan baik. Baru satu resensi buku yang saya tayangkan di blog.

Seperti yang sempat saya tuliskan pada postingan saya di sini; semangat adalah bibit utama dalam kehidupan.  Jika ia mati, hidup tak berarti. Ya, semangat harus dipupuk, disirami, supaya hidup dapat terus berlanjut.
Teman-teman BAW, saya mencintai kalian.
buku-buku karya penulis-penulis BAW yang saya punya

Jumat, 12 April 2013

Always be in Your Heart, Menjejak Pulang ke Ermera


Kali ini saya mau mengulas novel hadiah ulang tahun kemarin. Hadiahnya langsung dikirim oleh penulisnya. Thank you very much Mba Brin :) Novel yang langsung habis sekali lahap. Siang diterima, malam sudah selesai dibaca.

Judul Buku: Always be in Your Heart (Pulang ke Hatimu)
Penulis: Shabrina Ws
Penerbit: Qanita
Tahun Terbit: Februari 2013 Cetakan I



Nama penulisnya ngetop sebagai penulis fabel. Nah, sebelum membaca novel yang ini, saya baru selesai membaca novel duetnya dengan Riawani Elyta; Ping! A Message from Borneo. Well well well…dua novel pemenang lomba. Ckckckck… Oiya, novel Always be in Your Heart ini adalah peraih juara ketiga Lomba Penulisan Romance Qanita. Kita lihat bagaimana novel ini dalam pandangan saya.

Sepertinya Mba Shabrina Ws tak bisa lepas dari penulisan fabel. Sekalipun dalam novel roman manusia. Saya sudah curiga sewaktu penggambaran sebuah sosok di awal cerita. Jangan-jangan…eh benar! Lon adalah seekor anjing. Tapi menariknya, lewat kacamata Lon ini justru teraih rasa duka mendalam Marsela. Duka yang menggiring masuk ke dalam cerita roman sebenarnya antara Marsela dan Juanito.

Marsela dan Juanito, dua bocah yang besar bersama di Ermera, Timor Timur. Keduanya tumbuh seperti kakak dan adik. Marsela yang sudah piatu, menganggap ibu Juanito sebagai ibunya. Juan juga bersikap protektif sehingga Marsela merasa aman. Tak ada lelaki yang berani menganggunya.

Cinta ada karena biasa. Selepas kepergian Juanito ke kota untuk kuliah, Marsela merasa ada yang berbeda. Bocah yang sudah menjadi lelaki itu selalu ia tunggu kedatangannya dengan rasa berbeda.

Sampai kemudian ketika Marsela baru saja menamatkan sekolahnya, Juanito melamarnya. Tentu saja ia menerimanya. Namun pernikahan terpaksa ditangguhkan sampai batas waktu yang tak ditentukan. Marsela mengikuti ayahnya yang berkehendak menjadi warga negara Indonesia untuk mengungsi ke luar Ermera. Sementara Juan, seperti juga ayah dan ibunya, tak mau beranjak dari bumi Loro Sae dan memperjuangkannya.

Gejolak politik berimbas pada hubungan kedua insan. Tak ada janji, tak ada utang yang harus ditunaikan. Tetapi menunggu adalah pilihan Marsela.

Marsela menapaki hidup di bumi pengungsian hingga ayahnya berpulang. Dalam kesendiriannya, ia baru menyadari ada lelaki yang begitu peduli padanya, Randu. Pemuda peranakan Jawa-Minang itu adalah sahabat ayahnya. Bahkan ayah Marsela menitipkannya pada Randu sebelum meninggal dunia.

Marsela gamang. Ia kini sebatang kara. Ia masih berharap Juan datang padanya. Sepuluh tahun berselang dan Marsela memutuskan untuk pulang. Ditemani Randu, ia menapakkan kakinya kembali di Ermera. Desa yang tak lagi sama. Negeri yang sudah berbeda. Ia pun mendapati kenyataan bila Juan sudah berubah. Begitu juga dirinya.

Sepertinya sudah menjadi gaya Shabrina Ws; singkat dan padat. Buat sebuah novel roman, saya rasa alurnya terlalu cepat. Rasa bunga-bunga, cemas, cemburu, galau, manis, sejuta rasa yang konon menjadi simbol kisah cinta, terlalu cepat saya cecap.

Dalam kisah itu dua insan yang kasmaran terpisah jarak tanpa kabar selama sepuluh tahun.  Waktu yang lama untuk berteka-teki apakah cinta keduanya masih sama, akankah mereka menyatu, seperti apa damba mereka. Banyak rasa yang sepertinya bisa didapat dari satu dasawarsa.

Menurut saya, alangkah lebih manis bila ditampilkan juga kondisi Juan di Ermera. Novel ini menggunakan setting peristiwa penting dalam sejarah Indonesia dan Timor Leste. Sayang bila tak tergali momen spesial ini dari para pelakonnya.

Di luar itu saya salut dengan penulis yang mempertahankan gaya fabelnya sekalipun dalam novel roman. Tak ada kesan dipaksakan. Tokoh hewan ikut serta dalam hubungan cinta tokoh utamanya. Bahasanya ringan dan pemilihan katanya nyaman. Terbukti hanya dalam beberapa jam saja saya bisa menyelesaikan membacanya.

Ah, satu lagi. Saya lebih senang jika judul novelnya tanpa kalimat Bahasa Inggrisnya. Pulang ke Hatimu lebih terasa syahdu. 

Selasa, 05 Maret 2013

Konsumen Modis Berkata

Saya cukup sering mengunjungi sebuah toko buku mungil di dekat rumah. Cukup satu
kali naik mikrolet seharga dua ribu rupiah saya bisa menjangkaunya. Biasanya urusan
utama saya bukan ke toko buku melainkan ke bank atau ke restoran ayam goreng yang
berjejer dengannya. Sekitar satu atau dua bulan sekali lah. Toko buku ini menggelitik saya karena selalu membuat saya mampir jika harus ke dua tempat di sebelahnya. 

Ukuran ruangannya lebih kecil dari mini market yang tumbuh berjamur di sekitar
pemukiman di kota saya. Buku-bukunya up to date. Karena toko ini milik sebuah
penerbit, maka buku-buku yang dijualnya adalah produksi penerbit tersebut dan
produksi penerbit lain yang menggunakan jasa distribusi anak usaha penerbit itu.
Saya lumayan cocok dengan buku-buku produksinya. Terutama buku anak-
anaknya. Tiap kali ke sana, setidaknya satu buku untuk balita saya beli untuk saya
bacakan pada anak saya.

Terus terang saya adalah konsumen modis alias modal diskon. Tumpukan buku dalam
tiga boks besar yang berjejer di luar toko menjadi incaran saya. Kalau di dalam toko
buku-bukunya dibandrol harga jual. Kalaupun ada yang didiskon, maksimal 30 persen. Itupun berganti judul setiap pekannya. Strategi supaya datang terus tiap pekan. siapa tahu buku incaran yang sedang mendapat potongan harga.

Meski dijual obralan di luar toko, kualitas bukunya baik karena sebagian besar masih
tertutup plastik pembungkus. Harga buku berkisar antara 5-35 ribu rupiah. Bahkan saya
pernah mendapati buku untuk balita seharga tiga ribu rupiah! Seandainya saya pegang uang banyak, saya bisa bawa sekarung buku. Sayangnya kepentingan saya datang ke sana bukan utama; hanya mampir lalu lama berdiam memilih buku di antara tiga boks besar itu. Sampai-sampai anak saya yang selalu saya ajak merasa kesal dan meminta saya bersegera memilih. Hehehe.

Buku-buku dalam boks bukanlah buku jadul yang sudah menguning. Melihat tahun
terbitnya paling tua lima tahunan dan paling muda 13 bulan. Harga asli buku itu (saya
lihat dari label harga yang dicoret) di atas 30 ribu rupiah. Malah buku karya seorang
penulis senior perbedaan harganya sampai 50 ribu dari harga diskon. Bukunya pertama kali terbit dua atau tiga tahun lalu.

Saya juga menemukan buku-buku pemenang sayembara menulis. Buku-buku itu paling
berusia terbit seusia anak saya baru berlatih jalan sendiri. Mereka sudah masuk boks
obral dengan harga dua lembar uang kertas bergambar Tuanku Imam Bonjol. Akan
banyak lagi judul yang mengisi boks-boks itu bila sedang diadakan bazar buku.

Wah, asik dong Rim, bisa belanja buku terus. Jadi pemborong. Tidak juga. Meski
biasanya selalu beli buku setiap mampir, saya tetap bukan pemborong. Sudah modis,
milih-milih pula. Terbatas. Hehehe. Pelit amat ya sama buku. Yah sudahlah beda pembahasannya itu. Panjang urusannya :p

Meski saya konsumen modis, saya juga merasa teriris karena nama-nama yang tertera
pada buku-buku itu saya kenal di beberapa grup kepenulisan di situs jejaring sosial. Saya
tak pernah memberitahukannya kepada mereka. Sedih. Mereka mengeluarkan banyak
waktu, pemikiran, merangkai kata, bolak-balik revisi, dan lain-lain, dan lain-lain yang
saya belum pernah ketahui tapi sepertinya banyak dikeluhkan penulis-penulis bila
sedang proses melahirkan buku. (saya belum pernah punya buku solo soalnya hehehe).

Saya bisa merasa teriris karena di antara mereka ada yang menggantungkan
pendapatannya dari menulis.

Lagu lama; mungkin ada yang mengatakan seperti itu. Tentang penulis, royalti,
promosi, dan seterusnya dan seterusnya yang belum pernah saya alami.

Okelah itu dari sisi produsen yang saya jelas-jelas tidak paham benar. Kita menengok
ke sisi konsumen saja ya. Saya yakin konsumen modis seperti saya ini jumlahnya
luar biasa banyak. 

Terbukti di setiap pameran buku terjadi penumpukan manusia di pojok-pojok diskon. Sewaktu mengunjungi Islamic Book Fair Ahad lalu, saya melihat kerumunan calon pembeli di rak-rak buku murah. Buku seharga mulai dari lima ribu rupiah. Ada pula pojok majalah anak balita yang dibundel delapan eksemplar seharga sepuluh ribu rupiah. Memang bukan majalah baru tapi lihat saja isinya. Ada cerita kebaikan, potongan ayat suci dan hadits, permainan gambar yang dapat membantu perkembangan kreativitas anak, plus halaman menulis dan mewarnai. Paket komplit untuk membantu anak tumbuh cerdas. Isinya tidak akan pernah basi. Masih bisa digunakan berbulan atau bertahun kemudian.

Saya juga melihat orang yang memborong buku murah. Katanya dia bersama kawan-
kawannya tengah menghidupkan kembali remaja masjid yang mati suri. Baru beberapa
pekan ini mereka berkumpul-kumpul di masjid untuk berdiskusi. Ia membeli buku-
buku itu untuk meningkatkan minat baca remaja untuk kemudian mau bersama-sama
memakmurkan masjid. Pokoknya ia yakin keberadaan buku di masjid akan bermanfaat. Makanya dia borong.

Ah saya ingat. Pernah satu akun toko buku online di jejaring sosial mengadakan pesta
buku murah. Ada satu akun yang nyaris membeli setiap buku yang ditawarkan. Ia
bahkan meminta admin toko untuk menge-tag-nya manakala ada pesta buku lainnya. Ia
membeli sekian jumlah eksemplar dari setiap judul buku untuk ia sebar ke beberapa
taman bacaan yang dikelolanya. Indahnya bisa memberikan sarana memudahkan orang lain membaca.

Seorang kawan juga pernah bertutur bila berhasil membawa banyak buku dengan harga miring dari sebuah ajang pameran atau toko buku, dia merasa kaya. Ya, saya juga merasakan hal yang sama. Rasanya senang sekali bisa membeli, membacanya, membacakannya, atau menghadiahkannya pada yang lain.

Iya, elo kaya, gua tekor. Mungkin ada yang merasa seperti itu. Aduh, gimana ya. Dilematis juga buat saya dan konsumen modis lainnya.

Tapi yang jelas, kepada para penulis, saya menaruh hormat pada Anda semua. Maafkan saya, si konsumen modis yang hanya sedikit berkontribusi pada periuk Anda. Percayalah,
apa yang Anda tuliskan dan sebarkan pada kami para pembaca tidaklah sia-sia. Tetaplah menulis dan menginspirasi kami. Tak sedikit dari buku diskonan itu yang menyentuh
hati, memaksa kami peduli, membangunkan otak kami yang tidur, atau menghidupkan
lagi rasa kami yang kami kira sudah mati.

Terima kasih.

Saya Bersama Perahu Kertas dan Coupl(ov)e

 

Dua novel baru saja saya rampungkan. Membacanya, bukan menulisnya. Hehehe.

Satu novel lama yang sudah difilmkan dan satu lagi masih gres yang menurut saya bagus untuk difilmkan. Perahu Kertas karya Dewi "Dee" Lestari dan Coupl(ov)e milik Rhein Fathia (beneran, saya suka judul yang kedua. Unik). Keduanya punya kisah yang senada; persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang berujung cinta.

Jika Keenan dan Kugy sudah merasakan getaran rasa sebelum mereka menjadi sahabat,
Raka dan Halya menumbuhkan rasa perlahan selama bersahabat. Dan mereka serupa;
tak bisa menjadi manusia yang "hidup" tanpa orang itu di sisinya. Orang itu adalah
sahabat sekaligus kekasih hati. Perjalanan mereka berliku untuk sampai pada titik itu.

Di samping kesenadaan tema, tokoh-tokoh di dua novel ini hidup di masa yang sama.
Mereka lahir di awal tahun 1980-an. Itu adalah masa di mana saya hidup. Malah Rhein
menuliskan dengan jelas jika tokohnya lahir di tahun 1981, tahun yang sama dengan
kemunculan saya di dunia (waduh jadi bongkar umur deh :p). Dan menariknya, kedua penulis bukanlah manusia-manusia sezaman dengan tokoh-tokoh ciptaannya itu. Dee lebih dulu lahir lima tahun dari saya sementara Rhein enam tahun setelah saya. Nggak jauh sih lintas zamannya tapi tetep aja ya bukan zamannya (maksa gini).

Di kedua novel itu, digambarkan kehidupan tokoh-tokoh mereka sejak SMA, menghadapi UMPTN, masa-masa kuliah yang penuh bunga-bunga dan duri-duri, lalu dunia kerja berikut realita hidup yang harus dilakoni, persahabatan tokoh utama dengan orang-orang di sekitarnya di masa lalu dan masa kini, dan tentu saja cinta. Bukan hanya romansa, tapi juga sayang, ikhlash, percaya. Oh ya satu lagi, tentang mimpi.

Lalu ada Bandung dan Jakarta yang menjadi setting utama kisah di dua novel ini. Dua
kota yang menjadi tempat tinggal dan rumah saya. Tempat saya menjalani hidup dan
dinamikanya. Hahaha kegeeran gini disama-samain.

Menarik ketika saya menemukan harta karun di kedua novel berupa kejanggalan. Saya
yang hidup sezaman dengan tokoh-tokoh ciptaan mereka merasakan hal itu. Ada yang
missing dan tidak tepat dengan kejadian, situasi, dan... sesuatu (aih Syahrini deh ah).

Saya tak mau sok tahu; hanya merasakannya saja. Tapi itu tidak berpengaruh pada
jalan cerita. Hanya pada saya saja barangkali. Seperti menemukan sebiji jagung dalam
sepotong tempe. Tak berpengaruh banyak pada tempe itu. Tetap bisa dimakan dan
rasanya enak. Tapi sebiji jagung itu tidak saya makan. Saya sisihkan dan pandangi
sambil bertanya apa peranannya dalam sepotong tempe. Hahaha. Lebay sama iseng
beda tipis.

Membaca kedua novel ini seperti membaca diri. Kali ini bukan karena tokohnya
sezaman dengan saya, lo. Kedua novel ini menggugah saya untuk kembali introspeksi.

Kalimat-kalimat bijak Dee dan Rhein (oh ya benar. Rhein punya kalimat-kalimat
bijak juga lo di dalam novelnya) mengingatkan diri saya kembali. Saya seperti diajak
memahami banyak hal dalam hati yang selama ini saya abai padanya. Saya memang
belum lulus ujian hidup ternyata.

Hm...kalau bukan karena membaca dua novel ini secara beriringan barangkali saya tak
membuat tulisan ini. Ingatan saya suka kacau jika hendak menuliskan review. Tapi ini
bukan review juga ya. Hahaha. Ah kan ngaco lagi deh.

By the way...entah mengapa saya merasa ingin mengucap terima kasih kepada Dee dan
Rhein. Saya belum kembali sepenuhnya. Saya mencoba. Semoga bisa.

(foto-foto by Bentang Pustaka)

Selasa, 05 Februari 2013

(Buku Antologi) 50 Cerita Klasik Nusantara dan Dunia

Hore!! Buku antologi keempatku sudah hadir. Sudah sejak bulan Agustus 2012 ada di toko buku se-Indonesia. Jangan sampai ketinggalan ya! Bukunya bagus lo Harganya Rp 50.000. ;)

Buku ini merupakan kumpulan kisah klasik yang berasal dari nusantara dan dunia. Beberapa sudah pernah saya dengar sewaktu kecil. Tapi ternyata banyak juga yang saya baru tahu setelah membaca buku ini. Hihihi katro ya saya? Gapapa, saya yakin banyak juga kok yang katro macam saya :D

Nah supaya nggak berkepanjangan katronya, lebih baik segera miliki buku ini. Judulnya "50 Cerita Klasik Nusantara dan Dunia". Asik lo buat bahan mendongeng sebelum tidur. Ada 50 cerita! Kalau satu hari satu cerita, berarti cukup untuk kurang lebih satu setengah bulan. Hahahaha lumayan kan buat panduan mendongeng.

Satu tulisanku ada di situ. Judulnya "Kisah Batur dan Raden".


Saya bisa hadir di buku ini setelah diseret sahabat untuk masuk ke dalam grup Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN) di Facebook. Saya nggak pede karena belum pernah menulis cerita. Nah, karena ini bentuknya penceritaan kembali, saya coba-coba saja. Eh nggak tahunya lolos. Senangnya!

Proses kelahiran buku ini juga lumayan panjang. Kalau tak salah ingat, audisinya tahun 2010. Awalnya hendak menjadi 101 kisah. Karena jadinya tebal barangkali, maka dipecah menjadi dua. Nah, buku satunya lagi adalah ini:




Ayo beli ya kedua buku ini. Dijamin nggak nyesel karena seru banget ceritanya. Bagus untuk didongengkan pada anak-anak.

Bisa juga dibaca diblog ini

(Buku Antologi) Dawai Hati


Nah, ini buku antologi kedua saya. Judulnya Dawai Hati (Merajut Rindu Menjemput Samara). Buku ini sekuel dari Bingkai Rindu Samara. Keduanya proyek charity untuk Rumah Baca. Dari judulnya tentu sudah sangat tercermin apa yang ada di dalamnya kan? Yup! All about love.

Tulisan saya di dalamnya berkisah tentang secuplik perjalanan saya dan suami kala masih mencari jodoh sampai akhirnya kami "jadi". Terus terang, di dalam perjalanan tersebut kami tidak sendiri. Ada perantara kami. Makanya judul tulisannya "Gara-gara Comblang". Siapa dan bagaimana kisahnya, silakan baca sendiri ya di buku ini.

Bisa juga dibaca di blog ini

(Buku Antologi) Kacamata Pengantin


Ini adalah buku pertama yang terbit dan memuat karya saya di dalamnya. Judulnya "Kacamata Pengantin". Awalnya ketika dalam satu komunitas penulis perempuan mengadakan audisi terbuka perihal pengalaman tak terlupakan berkenaan dengan pernikahan. Saya mencoba membuat satu tulisan tentang saya dan suammi. Tepatnya bagaimana kami akhirnya bisa menikah. Buku ini diterbitkan secara indie di paruh kedua 2011. Karena indie, pencetakannya sesuai dengan pesanan. Entah apakah masih dibuka untuk pemesanan atau tidak. Tak ada kabar lanjutan.

Bisa juga dilihat di blog ini

Rima Menulis

Hai semua! Saya meng-geer-kan diri blog ini dan blog saya sebelumnya ada yang baca :)

Sengaja saya buat blog baru untuk memisahkan kehidupan pribadi dengan keinginan saya untuk mengaktifkan otak dan jemari saya. Jadi, blog saya yang gudangkatakataku.blogspot.com akan saya gunakan untuk hal-hal pribadi. Sedangkan blog rimamenulis.blogspot.com ini untuk menulis.

Sudah lama saya ingin membuat blog khusus menulis yang tidak ada kaitannya dengan unek-unek. Dan katroknya, baru saya tahu caranya barusan dengan tidak usah menggunakan banyak akun email. Ribet kalau harus buat banyak akun. Pusing ngingetnya.

Saya mencoba memisahkan tujuannya supaya saya terpacu untuk rajin membaca dan menulis. Semoga tercapai tujuan saya ini. Aamiin.

Sebagai pemanasan, saya posting dulu deh buku-buku yang pernah memuat nama saya di dalamnya. Saya copy dari blog saya yang lama ya. Semoga nama saya kelak bertambah di buku-buku selanjutnya, baik antologi maupun solo. Aamiin.