Rabu, 02 April 2014

Curhat Dimuat! (Pertama Kali Tembus Media)

Pagi ini mama mertua memberikan sebuah majalah Ummi kepada saya. Di situ tertulis pengirimnya adalah PT Insan Media Pratama, penerbit majalah Ummi dan Annida. Tentu saja saya sangat senang karena memang sudah saya nantikan. Saya malah mengira baru akan diterima besok, tanggal 3. Saya sempat bertanya pada admin @majalahUMMI tentang masa terbit bulanannya.

Ceritanya, saya mengirimkan curhatan saya pada 15 Januari. Ada dua curhatan yang saya layangkan pada dua media berbeda. Lalu di akhir Februari saya mendapatkan jawaban dari Majalah Ummi bila karya saya layak muat untuk edisi April. Karena saya belum melampirkan foto, maka saya harus segera mengirimkan selambat-lambatnya tiga hari setelah kabar tersebut.

Waduh, foto-foto saya kebanyakan bersama anak jadi kudu foto lagi. Hehehe. Saya minta suami mengambil foto lalu saya mengirimkannya. Itupun dengan meminjam laptop kakak ipar saya. Kebetulan dia membawanya jadi saya bisa edit dan kirim. Soalnya sudah lebih dari setahun saya tidak lagi memakai laptop apalagi komputer. Sudah pada almarhum dan belum ada gantinya hihihi. Mengirim curhatan ke majalah pun via ponsel. Alhamdulillah tak besar filenya jadi bisa terkirim.

Senang rasanya bisa tembus media. Biarin norak juga ya hehehe...

So, saya korek-korek lagi deh curhatan emak-emak. Siapa tahu ada yang nyantol lagi di media yang sama ataupun media lain. Aamiin.

Oya ini tulisan yang dimuat di rubrik Nuansa 
Wanita: Kalah oleh Amarah. 

Kalah Oleh Amarah

"Bu, pinjem hape!" seru putera saya, Faiz. Saya mengangguk. Faiz memang senang melihat foto dan video aksinya yang aaya rekam di ponsel itu. Dia berlari sambil membawa ponsel putih yang casing-nya nyaris lepas karena salah satu sisinya patah. Tutup baterai juga telah longgar. Tapi ponsel itu terbilang baik-baik saja meski "lola" alias loading lama.

Saya masih menonton TV saat Faiz menirukan kata-kata yang sering saya lontarkan, "handphone-nya nge-hang!"

"Bu, maaf ya, 'ininya' nggak bisa masuk," kata Faiz tiba-tiba sambil menyodorkan ponsel.

Ketika saya terima, spontan saya berseru, "Astaghfirullahal'adzim, Faiz!" Saya pandangi dia dengan marah. Micro SD berkapasitas delapan gigabyte terbelah dua. Rupanya dia berasumsi ponsel bermasalah karena posisi micro SD yang tidak tepat. Maka ia tarik lalu memasukkannya lagi dengan posisi terbalik. Tentu saja tidak akan pas. Karena itulah ia mendorong paksa, akhirnya patah.

"Kenapa nggak kasih ibu aja kalau Faiz nggak bisa pasang? Kalau begini, kan, Faiz juga tidak bisa lihat foto dan nonton video lagi!" cerocos saya masih dengan amarah.

Saya kesal bertubu-tubi. Pertama, karena file dalam micro SD itu belum saya pindahkan ke laptop. Kedua, karena saya harus kehilangan banyak momen indah dalam hidup yang tersimpan di kartu tersebut tanpa sempat menyelamatkannya. Ketiga, karena sudah mengizinkan balita, yang belum genap empat tahun, bermain dengan ponsel yang ngadat tanpa pendampingan.

Saya marah, tak tahu harus berbuat apa. Melihat jam sudah mendekati waktu tidur siang, saya menyuruhnya ke kamar. Meski sempat enggan, Faiz menurut juga. Saya ucapkan zikir untuk meredam amarah.

Di kamar, saya hempaskan tubuh di kasur. Bahkan saat suami menanyakan apa yang terjadi, saya jelaskan dengan ketus. Ternyata saya masih terselimuti amarah sampai-sampai bersikap menyebalkan pada suami.

Faiz duduk di dekat saya dan mulai menangis. Saat ayahnya bertanya, Faiz menjelaskan dengan terpatah-patah. Dia menangis karena melihat saya marah-marah dan berjanji tidak akan mematahkan kartu ponsel lagi (maksudnya micro SD).

Suami saya mengingatkan Faiz untuk meminta maaf dan tidak mengulangnya kembali. Ia mengangguk.

"Bu, maafkan Faiz ya? Faiz nggak akan patahin lagi kartu di hape Ibu."
"Iya. Sok tidur!"

Tak lama iapun tidur. Wajahnya amat polos. Tiba-tiba mengalir air dari kedua mata saya tanpa bisa ditahan. Betapa saya kalah oleh amarah. Akibatnya saya melukai perasaan anak. Apalah artinya kehilangan memori ponsel delapan gigabyte bila ternyata saya memutus entah berapa miliar byte kemampuan otak anak saya. Karena konon, suara keras dan membentak dapat menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh.

Astaghfirullaahal'adzim.

(dimuat di Majalah Ummi No 4/ XXVI/April 2014/1435 H)