Senin, 30 Desember 2013

Memilih Bahagia (Sebuah Review Novel The Mocha Eyes)

Senang sekali sewaktu membeli buku ini. Kenapa? Karena saya mendapat potongan harga dari si penjaga toko. "Saya kasih potongan harga buat Ibu," kata si mas-mas penjaga toko. Katanya, karena saya sering berkunjung dan membeli buku di tokonya. Wah terharu...padahal saya adalah pembeli yang gemar buku obralan di boks, jarang beli yang di rak. Hehehe, maafkan saya wahai para penulis...


Judul buku: The Mocha Eyes
Penulis: Aida MA
Penyunting: Laurensia Nita
Penerbit: Bentang
Tahun Terbit: Mei 2013, cetakan I


"Bahagia itu sekarang, Ara! Di sini, menunggumu dengan senyuman." (Halaman 83)

Benar, bahagia itu pilihan dan hanya ada sekarang, saat ini. Ketika memilih bahagia, maka langkah akan ringan dan kebahagiaan itu akan menebar, melebar, menyempurna. Ini berdasarkan pengalaman pribadi maka saya sangat setuju dengan ucapan ibunda Muara itu.

Usai membaca novel ini beberapa waktu lalu, saya mendapati berita kehamilan seorang mahasiswi lantaran eksploitasi seksual oleh salah satu budayawan ternama. Peristiwa itu membuka mata saya. Perempuan begitu rentan hancur dan dihancurkan.

Saya yakin perempuan seperti Muara tidak sedikit; perempuan korban pelecehan seksual. Sebagian berani melaporkannya pada polisi seperti RW dalam kasus di atas. Tapi lebih banyak lagi seperti Muara yang menarik diri, menyalahkan diri, merasa dunia tak adil padanya, menjauh dari dunia yang pernah menjadi miliknya. Mereka berjuang mengalahkan dirinya, mengentaskan amarahnya, memaafkan diri dan masa lalu.

Itu tidak mudah. Prosesnya bisa sangat panjang. Traumanya tak bisa hilang. Satu kehidupan telah hancur. Muara berhenti kuliah dan memilih menjadi pekerja apa saja, tanpa ambisi, tanpa harapan. Sekadar berupaya hidup normal.

Meski ada ibu yang tak henti mendorong keluar dari kegelapannya, Muara tetap bergulung dalam sedihnya. Ia memilih seperti itu. Memiliki Damar sebagai kekasih juga tak membuatnya bahagia. Bahkan kemudian membuat luka lain dalam hati Muara. Semakin ia bergelung dalam pekat.

Sampai kemudian Fariz, seorang motivator, memberinya moka. "Kalau kamu mengandaikan hidupmu sebagai kopi yang pahit, sekalipun ada hari yang manis, kamu akan tetap merasa pahit. Begitu juga bagiku, hidupku itu seperti cokelat yang gurih. Maka, sekalipun ada yang pahit, aku akan mencoba menetralisasi. Kalau kamu terlalu sulit untuk memahami maka aku memberikan jembatan ini.... Cangkir yang menghubungkan dua hal ini, kopi dan cokelat untuk menjadi moka. Dua cangkir ini hanya untuk menggambarkan hidup secara lebih realistis meski membingungkan, ada pahit dan ada gurih. Hidup itu secangkir moka!" (halaman 139)

Moka secara fisik dan juga filosofis. Keduanya diberikan Fariz pada Muara. Di sinilah gerbang hidup Muara kembali bersinar. Ia tak lagi menutupi dirinya. Fariz mendapatkan kepercayaan darinya juga cintanya. Muara tidak kembali seperti dulu tapi menjadi Muara yang baru. Saat itulah ia sadar, Fariz bukan hanya miliknya.

Seorang motivator favorit klien itu memiliki Meisha, perempuan cantik nan cerdas yang selalu berada di sisinya. Akankah kemudian Muara kembali terpuruk dan menutup gerbang hidupnya yang baru saja bersinar? Bagaimana cara Muara memilih bahagia?

Sebuah kisah yang emosional. Pergolakan batin seorang korban pelecehan tergambar baik. Perubahan karakter Muara yang semula ramah dan ceria kemudian menjadi antisosial bisa saya rasakan. Begitu juga saat Muara kembali menjadi sosok yang baru. Peralihan suasana cerah ke muram lalu kembali bersinar perlahan pada diri Muara saya acungi jempol. Hanya saja pada sosok Fariz, saya tidak merasa ia adalah tokoh yang membumi. Dia seperti tokoh dalam televisi. You know, he's too good to be true.

Tokoh ibu saya suka. Dapat dirasakan keteguhan hatinya dan kesabarannya yang tinggi. Ibu semacam itulah yang memang pantas menghadirkan sosok Muara. Sayangnya, tokoh Maya tak diketahui rimbanya. Saya rasa, tokoh itu bisa lebih hidup dalam proses atau mungkin saat Muara berhasil keluar dari kegelapannya. Karena disebutkan penulis, Maya adalah tokoh yang tulus.

Over all, The Mocha Eyes adalah novel yang manis dan filosofis. Banyak pesan yang terkandung di dalamnya tanpa merasa dihakimi. Termasuk kampanye anti rokok. Bahasanya ringan dan mengalir, khas Mbak Aida M.A. Konflik dan pemecahannya rapi tersusun. Nyaman membacanya.

Sebenarnya saya bukan pembaca yang rewel dengan typo atau keganjilan adegan. Tapi untuk yang satu ini, saya terus memikirkannya lantaran geregetan. Apakah penulis salah mengetik atau saya salah menggambarkannya karena saya adalah pembaca yang visual; selalu membayangkan apa yang dideskripsikan penulis.

Pada halaman 156 tertulis Fariz menyalakan mesin mobilnya lagi, membayar uang parkir, kemudian mengemudikan mobilnya menuju rumah Mei. Fariz membiarkan wanita itu terus saja menyandarkan kepalanya di lengan kanan Fariz.

Adakah yang merasa ganjil dengan deskripsi dua kalimat tersebut? Kalau saya, merasa aneh dengan posisi lengan yang menjadi sandaran kepala si wanita. Pasalnya mobil yang dikendarai Fariz menurut penulis di halaman 144 adalah mobil keluaran Jepang. It means, posisi pengendara ada di sebelah kanan mobil. Jika Fariz menyetir, maka di sebelah kanannya adalah pintu mobil. Jadi, bagaimana mungkin si wanita yang menumpang menyandarkan kepalanya di lengan pengemudi?

Dan satu lagi yang membuat saya gemas. Mengapa harus lagu When I Found You dari Britney Spears yang menjadi pengiring nuansa Fariz di halaman 141? Karena menurut saya, dengan karakter yang tergambar, Britney Spears bukanlah pilihan penyanyi yang tepat untuk Fariz (he's early 30 years old and so masculine). Apalagi kemudian saat berdua bersama Muara di halaman 233, lagu yang diputarkan Fariz adalah You're all That I Need milik White Lion. Saya rasa I Finally Found Someone-nya Bryan Adams dan Barbra Streisand lebih mewakili tinimbang lagunya Britney.