Selasa, 05 Maret 2013

Konsumen Modis Berkata

Saya cukup sering mengunjungi sebuah toko buku mungil di dekat rumah. Cukup satu
kali naik mikrolet seharga dua ribu rupiah saya bisa menjangkaunya. Biasanya urusan
utama saya bukan ke toko buku melainkan ke bank atau ke restoran ayam goreng yang
berjejer dengannya. Sekitar satu atau dua bulan sekali lah. Toko buku ini menggelitik saya karena selalu membuat saya mampir jika harus ke dua tempat di sebelahnya. 

Ukuran ruangannya lebih kecil dari mini market yang tumbuh berjamur di sekitar
pemukiman di kota saya. Buku-bukunya up to date. Karena toko ini milik sebuah
penerbit, maka buku-buku yang dijualnya adalah produksi penerbit tersebut dan
produksi penerbit lain yang menggunakan jasa distribusi anak usaha penerbit itu.
Saya lumayan cocok dengan buku-buku produksinya. Terutama buku anak-
anaknya. Tiap kali ke sana, setidaknya satu buku untuk balita saya beli untuk saya
bacakan pada anak saya.

Terus terang saya adalah konsumen modis alias modal diskon. Tumpukan buku dalam
tiga boks besar yang berjejer di luar toko menjadi incaran saya. Kalau di dalam toko
buku-bukunya dibandrol harga jual. Kalaupun ada yang didiskon, maksimal 30 persen. Itupun berganti judul setiap pekannya. Strategi supaya datang terus tiap pekan. siapa tahu buku incaran yang sedang mendapat potongan harga.

Meski dijual obralan di luar toko, kualitas bukunya baik karena sebagian besar masih
tertutup plastik pembungkus. Harga buku berkisar antara 5-35 ribu rupiah. Bahkan saya
pernah mendapati buku untuk balita seharga tiga ribu rupiah! Seandainya saya pegang uang banyak, saya bisa bawa sekarung buku. Sayangnya kepentingan saya datang ke sana bukan utama; hanya mampir lalu lama berdiam memilih buku di antara tiga boks besar itu. Sampai-sampai anak saya yang selalu saya ajak merasa kesal dan meminta saya bersegera memilih. Hehehe.

Buku-buku dalam boks bukanlah buku jadul yang sudah menguning. Melihat tahun
terbitnya paling tua lima tahunan dan paling muda 13 bulan. Harga asli buku itu (saya
lihat dari label harga yang dicoret) di atas 30 ribu rupiah. Malah buku karya seorang
penulis senior perbedaan harganya sampai 50 ribu dari harga diskon. Bukunya pertama kali terbit dua atau tiga tahun lalu.

Saya juga menemukan buku-buku pemenang sayembara menulis. Buku-buku itu paling
berusia terbit seusia anak saya baru berlatih jalan sendiri. Mereka sudah masuk boks
obral dengan harga dua lembar uang kertas bergambar Tuanku Imam Bonjol. Akan
banyak lagi judul yang mengisi boks-boks itu bila sedang diadakan bazar buku.

Wah, asik dong Rim, bisa belanja buku terus. Jadi pemborong. Tidak juga. Meski
biasanya selalu beli buku setiap mampir, saya tetap bukan pemborong. Sudah modis,
milih-milih pula. Terbatas. Hehehe. Pelit amat ya sama buku. Yah sudahlah beda pembahasannya itu. Panjang urusannya :p

Meski saya konsumen modis, saya juga merasa teriris karena nama-nama yang tertera
pada buku-buku itu saya kenal di beberapa grup kepenulisan di situs jejaring sosial. Saya
tak pernah memberitahukannya kepada mereka. Sedih. Mereka mengeluarkan banyak
waktu, pemikiran, merangkai kata, bolak-balik revisi, dan lain-lain, dan lain-lain yang
saya belum pernah ketahui tapi sepertinya banyak dikeluhkan penulis-penulis bila
sedang proses melahirkan buku. (saya belum pernah punya buku solo soalnya hehehe).

Saya bisa merasa teriris karena di antara mereka ada yang menggantungkan
pendapatannya dari menulis.

Lagu lama; mungkin ada yang mengatakan seperti itu. Tentang penulis, royalti,
promosi, dan seterusnya dan seterusnya yang belum pernah saya alami.

Okelah itu dari sisi produsen yang saya jelas-jelas tidak paham benar. Kita menengok
ke sisi konsumen saja ya. Saya yakin konsumen modis seperti saya ini jumlahnya
luar biasa banyak. 

Terbukti di setiap pameran buku terjadi penumpukan manusia di pojok-pojok diskon. Sewaktu mengunjungi Islamic Book Fair Ahad lalu, saya melihat kerumunan calon pembeli di rak-rak buku murah. Buku seharga mulai dari lima ribu rupiah. Ada pula pojok majalah anak balita yang dibundel delapan eksemplar seharga sepuluh ribu rupiah. Memang bukan majalah baru tapi lihat saja isinya. Ada cerita kebaikan, potongan ayat suci dan hadits, permainan gambar yang dapat membantu perkembangan kreativitas anak, plus halaman menulis dan mewarnai. Paket komplit untuk membantu anak tumbuh cerdas. Isinya tidak akan pernah basi. Masih bisa digunakan berbulan atau bertahun kemudian.

Saya juga melihat orang yang memborong buku murah. Katanya dia bersama kawan-
kawannya tengah menghidupkan kembali remaja masjid yang mati suri. Baru beberapa
pekan ini mereka berkumpul-kumpul di masjid untuk berdiskusi. Ia membeli buku-
buku itu untuk meningkatkan minat baca remaja untuk kemudian mau bersama-sama
memakmurkan masjid. Pokoknya ia yakin keberadaan buku di masjid akan bermanfaat. Makanya dia borong.

Ah saya ingat. Pernah satu akun toko buku online di jejaring sosial mengadakan pesta
buku murah. Ada satu akun yang nyaris membeli setiap buku yang ditawarkan. Ia
bahkan meminta admin toko untuk menge-tag-nya manakala ada pesta buku lainnya. Ia
membeli sekian jumlah eksemplar dari setiap judul buku untuk ia sebar ke beberapa
taman bacaan yang dikelolanya. Indahnya bisa memberikan sarana memudahkan orang lain membaca.

Seorang kawan juga pernah bertutur bila berhasil membawa banyak buku dengan harga miring dari sebuah ajang pameran atau toko buku, dia merasa kaya. Ya, saya juga merasakan hal yang sama. Rasanya senang sekali bisa membeli, membacanya, membacakannya, atau menghadiahkannya pada yang lain.

Iya, elo kaya, gua tekor. Mungkin ada yang merasa seperti itu. Aduh, gimana ya. Dilematis juga buat saya dan konsumen modis lainnya.

Tapi yang jelas, kepada para penulis, saya menaruh hormat pada Anda semua. Maafkan saya, si konsumen modis yang hanya sedikit berkontribusi pada periuk Anda. Percayalah,
apa yang Anda tuliskan dan sebarkan pada kami para pembaca tidaklah sia-sia. Tetaplah menulis dan menginspirasi kami. Tak sedikit dari buku diskonan itu yang menyentuh
hati, memaksa kami peduli, membangunkan otak kami yang tidur, atau menghidupkan
lagi rasa kami yang kami kira sudah mati.

Terima kasih.

2 komentar:

  1. Aku juga suka buku obral meski miris kalo inget perjuangan penulis utk bisa bikin buku itu

    BalasHapus
  2. Iya mba. Dilematis. Apalagi kalo penulisnya kita kenal..

    BalasHapus