Selasa, 05 Maret 2013

Saya Bersama Perahu Kertas dan Coupl(ov)e

 

Dua novel baru saja saya rampungkan. Membacanya, bukan menulisnya. Hehehe.

Satu novel lama yang sudah difilmkan dan satu lagi masih gres yang menurut saya bagus untuk difilmkan. Perahu Kertas karya Dewi "Dee" Lestari dan Coupl(ov)e milik Rhein Fathia (beneran, saya suka judul yang kedua. Unik). Keduanya punya kisah yang senada; persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang berujung cinta.

Jika Keenan dan Kugy sudah merasakan getaran rasa sebelum mereka menjadi sahabat,
Raka dan Halya menumbuhkan rasa perlahan selama bersahabat. Dan mereka serupa;
tak bisa menjadi manusia yang "hidup" tanpa orang itu di sisinya. Orang itu adalah
sahabat sekaligus kekasih hati. Perjalanan mereka berliku untuk sampai pada titik itu.

Di samping kesenadaan tema, tokoh-tokoh di dua novel ini hidup di masa yang sama.
Mereka lahir di awal tahun 1980-an. Itu adalah masa di mana saya hidup. Malah Rhein
menuliskan dengan jelas jika tokohnya lahir di tahun 1981, tahun yang sama dengan
kemunculan saya di dunia (waduh jadi bongkar umur deh :p). Dan menariknya, kedua penulis bukanlah manusia-manusia sezaman dengan tokoh-tokoh ciptaannya itu. Dee lebih dulu lahir lima tahun dari saya sementara Rhein enam tahun setelah saya. Nggak jauh sih lintas zamannya tapi tetep aja ya bukan zamannya (maksa gini).

Di kedua novel itu, digambarkan kehidupan tokoh-tokoh mereka sejak SMA, menghadapi UMPTN, masa-masa kuliah yang penuh bunga-bunga dan duri-duri, lalu dunia kerja berikut realita hidup yang harus dilakoni, persahabatan tokoh utama dengan orang-orang di sekitarnya di masa lalu dan masa kini, dan tentu saja cinta. Bukan hanya romansa, tapi juga sayang, ikhlash, percaya. Oh ya satu lagi, tentang mimpi.

Lalu ada Bandung dan Jakarta yang menjadi setting utama kisah di dua novel ini. Dua
kota yang menjadi tempat tinggal dan rumah saya. Tempat saya menjalani hidup dan
dinamikanya. Hahaha kegeeran gini disama-samain.

Menarik ketika saya menemukan harta karun di kedua novel berupa kejanggalan. Saya
yang hidup sezaman dengan tokoh-tokoh ciptaan mereka merasakan hal itu. Ada yang
missing dan tidak tepat dengan kejadian, situasi, dan... sesuatu (aih Syahrini deh ah).

Saya tak mau sok tahu; hanya merasakannya saja. Tapi itu tidak berpengaruh pada
jalan cerita. Hanya pada saya saja barangkali. Seperti menemukan sebiji jagung dalam
sepotong tempe. Tak berpengaruh banyak pada tempe itu. Tetap bisa dimakan dan
rasanya enak. Tapi sebiji jagung itu tidak saya makan. Saya sisihkan dan pandangi
sambil bertanya apa peranannya dalam sepotong tempe. Hahaha. Lebay sama iseng
beda tipis.

Membaca kedua novel ini seperti membaca diri. Kali ini bukan karena tokohnya
sezaman dengan saya, lo. Kedua novel ini menggugah saya untuk kembali introspeksi.

Kalimat-kalimat bijak Dee dan Rhein (oh ya benar. Rhein punya kalimat-kalimat
bijak juga lo di dalam novelnya) mengingatkan diri saya kembali. Saya seperti diajak
memahami banyak hal dalam hati yang selama ini saya abai padanya. Saya memang
belum lulus ujian hidup ternyata.

Hm...kalau bukan karena membaca dua novel ini secara beriringan barangkali saya tak
membuat tulisan ini. Ingatan saya suka kacau jika hendak menuliskan review. Tapi ini
bukan review juga ya. Hahaha. Ah kan ngaco lagi deh.

By the way...entah mengapa saya merasa ingin mengucap terima kasih kepada Dee dan
Rhein. Saya belum kembali sepenuhnya. Saya mencoba. Semoga bisa.

(foto-foto by Bentang Pustaka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar