Senin, 22 Desember 2014

Hamil Tak Bahagia?

"Hamil kok nggak bahagia gitu sih? Apa-apa dilarang!"

Aku tidak lagi melanjutkan kisah pengobatanku usai seorang kerabat berucap seperti itu.

Aku dan suamiku adalah salah satu di antara banyak pasangan yang "tidak tokcer". Kami tak pernah menggunakan alat kontrasepsi atau berencana menunda kehamilan setelah menikah di tahun 2007. Namun sampai di tahun ke-dua pernikahan, aku tak kunjung berbadan dua.

Kami sudah memeriksakan diri ke dokter. Kondisi kami baik-baik saja. Seorang kawan menunjukkan jalan. Ia memperkenalkan kami dengan seorang terapis. Kamipun mencoba berobat padanya.

Pengobatan yang kami lakukan sangat simple. Intinya, kami "dipaksa" hidup sehat. Cara yang paling utama adalah memantang makanan. Pasalnya, selama hidup kami, tubuh kami sudah terlalu banyak mengonsumsi makanan tidak sehat. Gaya hidup kamipun tidak terlampau sehat. Maklum, saat itu kami berdua "orang lapangan" yang kegiatannya menguras energi dan mengonsumsi makanan "seketemunya".

Sebagai perempuan yang akan dimasuki kehidupan manusia lain di dalam rahim, aku mendapatkan pantangan makanan yang jauh lebih banyak ketimbang suami. Masa pantangankupun lebih panjang dari suami. Jika suami hanya memantang sampai berhasil membuahiku, maka aku hingga melahirkan bayi kami.

Masalah pantang-memantang inilah yang dikatakan kerabatku sebagai "ketidakbahagiaan". Wanita hamil akan berubah menjadi pemakan segala dalam jumlah yang luar biasa. Sementara aku diminta untuk memantang ini dan itu. Nyaris semua makanan kesukaanku masuk dalam daftar pantangan.

Benarkah aku tak bahagia menjalani kehamilanku?

Perempuan pasti ingin memiliki keturunan yang lahir langsung dari rahimnya. Akupun begitu. Setelah dua tahun menanti dua garis merah tercetak pada lembar testpack kemudian dinyatakan hamil, bagaimana rasanya? AKU BAHAGIA LUAR BIASA!

Bagaimana dengan pantangan ini dan itu? Tentu saja aku jalani sampai tuntas. Masih banyak jenis makanan yang terdapat di dunia ini. Pantangan yang kudapatkan, sebagian besar adalah makanan cepat saji, berpengawet, berwarna, berkarbonasi, berkarbon, memiliki rasa yang tajam, bau yang tajam, dan mengganggu stabilitas hormon. Jenis-jenis makanan ini memang sudah seharusnya dikurangi bahkan dihindari jika ingin sehat. Hal itu sudah sering muncul dalam artikel-artikel kesehatan.

Aku masih bisa makan enak kok. Makanku juga banyak. Aku tetap mengemil. Semuanya makanan sehat.

Terserah jika orang menganggapku tidak bahagia. Bahagia itu di hati, bukan di makanan. Kuniatkan saja upaya kami ini sebagai memilah dan memilih asupan terbaik bagi calon anak kami. Sejak ia masih di dalam kandungan, kami berhati-hati memberinya nutrisi. Dengan sendirinya, akupun membekali diri dengan hal-hal positif lainnya. Aku banyak membaca tentang kesehatan ibu dan anak, merutinkan tilawahku yang bolong-bolong, mendengarkan hal-hal positif, "mengobrol" dengan calon anakku tentang apa saja dengan bahasa yang baik,

Sekarang anakku sudah berusia 4 tahun 10 bulan. Ia sehat dan pintar. Aku bertambah bahagia. Dan sepertinya, aku ingin lagi menjalani "ketidakbahagiaan" ala kerabatku itu. ;)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar