Sabtu, 30 November 2013

(Resensi 12 Menit) Berjuang Sampai Menang

Buku ini diawali sebuah ayat yang diambil dari Al Quran. Surat Al Ra'd ayat 11 yang berarti "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sebuah bangsa sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri". Ayat ini mewakili isi novel yang disadur dari kisah nyata perjuangan tim Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT). Kisah yang dirancang apik dalam novel "12 Menit".  

Uniknya, di sampul depan sudah ada secarik pesan: "nantikan filmnya". Biasanya, novel best seller atau novel yang memikat sineas muncul beberapa lama sebelumnya kemudian divisualkan dalam wujud film. Tapi ini, baru cetakan pertama sudah dilabeli seperti itu. Saya dibuat heran karena ini di luar kebiasaan. Ternyata novel ini adalah adaptasi dari skenario film "12 Menit untuk Selamanya". Penulisnya adalah penulis skenario film tersebut, Oka Aurora. Ia berkejaran menulis novel dalam masa syuting film karena novel harus terbit sebelum filmnya diputar di bioskop-bioskop.  

Saya menyebut novel ini sebagai hidangan pembuka film. Seperti halnya hidangan pembuka, novel pertama Oka bersifat membangkitkan selera. Tentu saja tidak mengenyangkan tapi membuat saya bersiap pada hidangan utamanya. Saya seperti halnya kebanyakan pembaca novel, suka ragu dengan film yang diangkat dari novel. Sering kali tak sesuai gambaran imajinasi. Untuk menjembatani pembaca seperti saya, sepertinya sengaja ditampilkan foto-foto pada sampul bagian dalam. Di sana ada Elaine, Tara, Lahang, dan Rene juga teman-teman MBBPKT yang tengah berlatih. Foto-foto itu adalah potongan gambar film sesungguhnya.  

"12 Menit" bercerita tentang perjuangan MBBPKT menjadi juara dalam ajang Grand Prix Marching Band (GPMB) di Istora, Jakarta. Lika-liku setiap anggotanya untuk bisa mengalahkan diri mereka sendiri agar dapat menyatu bersama tim dan mewujudkan impian bersama.  

Rene, pelatih MBBPKT adalah orang yang paling ingin mewujudkan impian yang mustahil itu. Ia sudah beberapa kali membawa tim marching band yang dilatihnya meraih juara di ajang nasional maupun internasional. Bahkan sebelum ke Bontang, tim marching band asuhannya di Jakarta menjadi juara GPMB tiga kali berturut-turut. Kali ini ia mendapat tantangan terberat selama menggeluti profesinya. Rene harus melatih satu tim yang berasal dari pelosok, bukan anak-anak kota yang biasa ia latih. Ia tak hanya harus melatih kemampuan bermain musik, tapi juga membangkitkan rasa percaya diri mereka. Anak-anak berlian yang merasa kecil karena berasa dari kota kecil.  

Tara salah satunya. Ia adalah pemain drum. Daya dengarnya yang tinggal 10-20 persen membuatnya kesulitan berharmoni dengan tim. Tapi masalah utamanya bukan itu. Tara punya trauma masa lalu yang menyebabkan pendengarannya berkurang. Trauma itu membuatnya keras pada diri sendiri dan tidak mau memaafkan. Ia kecewa dan mengecewakan orang-orang tercintanya.  

Lahang pun demikian. Ia tidak bisa memaafkan dirinya andai harus kehilangan bapak tanpa ia ada di sisinya. Lahang, penari berbakat dan menjadi andalan menari solo dalam tim, menghadapi dilema. Bapaknya, tetua adat Dayak, sakit keras menjelang kepergian anak semata wayangnya ke Jakarta. Meraih impiannya di Jakarta atau menemani ayahnya menjelang ajal adalah pilihan yang berat. Keduanya penting bagi Lahang. Ke Jakarta adalah juga mewujudkan impian mendiang ibundanya; sedangkan menemani ayah adalah juga tekadnya setelah pada kematian ibu, ia tak sempat menemani di penghujung hidupnya.  

Memilih juga hal tersulit bagi Elaine. Dia selalu mendapatkan tekanan berat dari ayahnya, Josuke Higoshi. Bahkan ketika ia sudah memenuhi kemauan ayahnya, masih saja itu belum cukup. Maka ketika ia memilih marching band daripada olimpiade Fisika, mengharukan saya. Perlu keberanian besar seorang Elaine memutuskannya. Dan benar saja, Josuke tak menyetujui pilihan anaknya bahkan menarik paksa Elaine dari lapangan saat gladi resik. MBBPKT terancam tak memiliki field commander dalam ajang GPMB di Jakarta.  

Kisah-kisah ini mewakili 130 anggota tim MBBPKT yang harus mengalahkan diri mereka dulu sebelum berjuang bersama tim. Saya suka dengan pilihan Oka yang menuliskannya dalam kalimat-kalimat pendek dan efektif. Hebatnya, saya tidak menemukan typo alias kesalahan ketik. Meski saya pembaca yang toleran dengan typo, tapi mendapati novel yang mulus seperti ini menyenangkan mata.  

Penceritaan yang to the point dan menghadirkannya dalam bab-bab pendek, memudahkan saya memvisualisasikannya dalam benak (ini kebiasaan saya kalau baca novel). Karena jalinan alurnya tidak terlalu cepat, maka bab-bab pendek ini tak membuat saya kelelahan membaca. Ditambah, kalimat-kalimat mutiara yang motivatif bertebar di hampir seluruh bab. Membuat saya kadang harus diam sejenak, meresapi kalimat-kalimat itu, sebelum kemudian melanjutkan membaca. Dan, itu sukses membuat saya membaca ulang lalu menandai kalimat-kalimat itu.  

"Berapapun waktu yang diberikan, tak seharusnya dihabiskan dengan ketakutan, sambung bapaknya lembut, "karena ketakutan, anakku, tak akan pernah menyambung hidupmu. Yang akan menyambung hidupmu, hanya keberanian." (halaman 104)  
"Tak ada pelaut tangguh yang dilahirkan oleh laut yang tenang." (halaman 140)  
"...hadapi masalahmu satu per satu. Selesaikan satu demi satu. Menghabiskan sepiring nasi nggak mungkin dalam sekali telan kan?" (halaman 258)  

Membaca novel ini membuat saya geregetan. Konflik yang dihadirkan berlapis terkadang bikin sebel. Seakan sudah selesai dan berekspektasi akan menikmati cerita yang manis-manis, eh muncul masalah lain dan itu bukan mengada-ada. Karena sebenarnya kalau mau cermat, potensi konfliknya sudah dihadirkan pada bagian-bagian sebelumnya.  

Meskipun tampaknya pesan yang disampaikan serius, Oka menyampaikannya dengan ringan. Malahan ada bab yang full bikin saya terbahak, bab 45. Istilah-istilah marching band tak membuat saya pening. Glosarium di bagian belakang malah saya telusuri usai menyelesaikan membaca novelnya. Dengan menerka-nerka istilah-istilah tersebut sambil menyesuaikan dengan narasi atau deskripsi yang dituliskan, lebih menyenangkan bagi saya yang buta istilah marching band dan musik.  

Berjuang memang akan selalu ada dalam tahapan hidup manusia. Bahkan untuk menaklukkan istilah-istilah dalam marching band tanpa menengok Glosarium. Hehehe. Sepahit apapun perjuangan, akan menerbitkan manis, cepat ataupun kelak. Yang terpenting, siapkan diri menjadi tangguh. Maka benar adanya bila Oka menuliskan ini dalam bukunya:
"Perjuangan terberat dalam hidup manusia adalah perjuangan mengalahkan diri sendiri. Buku ini adalah bagi semua yang memenangkannya."  
Vincero!                  

Judul buku: 12 Menit
Penulis: Oka Aurora
Penggagas cerita: Regina Septapi
Penyunting: @me_dorry dan @shinta_read
Penerbit: Noura Books
Tahun terbit: 2013
ISBN: 978-602-7816-33-6