Senin, 19 Agustus 2019

Ngebolang di Hutan Kota Jakarta


Tahu nggak, kalau Jakarta punya hutan? Hutan beneran yang isinya pepohonan lo, bukan hanya bangunan beton.

Ternyata masih banyak orang yang belum tahu jika di ibukota ada hutan. Bahkan warga Jakarta pun, banyak yang belum tahu. Kalaupun sudah tahu atau pernah dengar, belum tentu juga mereka pernah datang ke sana. Nah, saya termasuk kelompok ke dua. Maka begitu ada info menjelajah hutan kota, saya semangat mengajak Faiz, anak saya. Alhamdulillah dia mau.

Jadilah kami mengikuti kegiatan Jelajah Flora dan Fauna Jakarta (JFFJ) angkatan ke dua, Sabtu, 20 Juli 2019. Kegiatan ini diperuntukkan bagi siswa sekolah dasar atas prakarsa Kak Mailanti dan Kak Lana. Keduanya adalah Sarjana Sains Biologi. Jadi, materinya bisa dipertanggungjawabkan, bukan hoaks.

Hari itu diawali dengan salah jalan menuju lokasi. Akibatnya kami berputar dan menjauhi tujuan. Jadilah kami terlambat sampai lokasi. Untungnya, alhamdulillah acara belum mulai. Padahal kami nyaris satu jam tiba lebih lama dari jadwal. Ternyata bukan hanya kami yang telat. (Ketika saya ngobrol dengan Kak Mai, biasanya dia hanya mau menunggu maksimal 15 menit dari jadwal. Jika lebih, akan ditinggalkan. Tapi saat itu ada hal yang perlu dia tangani di lokasi sehingga harus molor. Ya, rezeki saya hehehe.)

Ada 10 dari 11 anak yang sudah mendaftar hadir pagi itu. Mereka adalah Faiz,  Zaidan dan Zavier, kakak-adik yang satu sekolah dengan  anak saya, lalu Fatir, Fikri, Syadid, Dakota, Haben, Nadia, dan Azza yang berbeda sekolah dengan anak saya. Satu anak mengundurkan diri. Entah apa alasannya dan saya tidak  mencari tahu. Kami berdoa dan memulai penjelajahan. Oh ya, selain saya, ada Ibu Yanti, ibunda Fatir yang ikut ngebolang bersama anak-anak.

Penjelajahan pertama mengamati pepohonan . Kami melingkari Kak Lana yang menjadi mentor hari itu. Kak Lana menjelaskan bagaimana sebuah penelitian dan pengamatan dilakukan. Dimulai dari mengamati cuaca, melihat waktu, kemudian menuliskannya di bagian atas lembar laporan. Lalu mengalirlah informasi mengenai pohon dan tanaman. Anak-anak mengabadikannya pada buku tulis yang sudah disediakan panitia.

Kegiatan ini bersifat santai jadi mengikuti ritme anak-anak. Ketika mereka meminta istirahat, ya sudah, berhenti berjalan dan menikmati sejuknya udara di hutan sambil mengudap camilan.

Ada kejadian menarik ketika beristirahat di pinggir danau yang airnya sudah menyusut. Tanpa sengaja, Fikri menjatuhkan botol air minumnya. Dengan sigap, Syadid menuruni tangga danau dan mengambilnya. Padahal mereka berbeda sekolah dan baru berkenalan di lokasi, lo. Sayang, kaki kirinya terjerembab di bagian dasar danau yang lembek karena lumpurnya belum sepenuhnya mengering.

Kak Lana dan Kak Mai mengajak anak-anak membantu Syadid membersihkan sepatu dan ujung celananya menggunakan daun kering yang berjatuhan di sekitar mereka. Pun menggunakan tisu kering yang dibawa panitia. Beberapa anak ikut serta dan lainnya menyaksikan saja hehe. Tisu bekas dibuang ke tempat sampah sementara dedaunan dibiarkan di tanah. Fikri pun diminta mengucapkan terima kasih kepada Syadid.

Saya senang panitia tetap mengedepankan adab sesama teman dan lingkungan. Anak-anak diingatkan untuk mengucapkan maaf, terima kasih, dan tolong serta meminta izin jika ingin menggunakan barang milik peserta lain, sekalipun itu adalah kakaknya (ada dua kakak beradik yang menjadi peserta) . Juga diingatkan untuk tidak merusak tanaman, tidak menginjak tanaman yang baru ditanam, mengambil tanaman sesuai kebutuhan, menyimpan sampah sampai bertemu tempat sampah.

Ketika melanjutkan perjalanan menuju menara pengamatan burung, Kak Lana meminta anak-anak memperhatikan sekitar dan mencari ranting pohon yang cukup baik untuk menjadi tongkat mereka. Ketika bertanya untuk apa, kata Kak Lana untuk membantu mencari kodok dan ular. Anak-anak semangat mencari walaupun ada juga yang menjadi ciut. Hihihi.

Ketika sampai di menara pengamatan burung, anak-anak dibagi menjadi dua kelompok yang tidak sama banyak. Lagi-lagi saya tidak tahu alasannya dan tidak kepo. Kelompok pertama terdiri dari enam anak dan kelompok dua, empat anak.

Ketika kelompok pertama naik ke menara, kelompok ke dua dibolehkan bermain dan bersantai di area bawah menara. Anak saya dan Zaidan memilih makan siang. Waktu menunjukkan pukul sebelas kurang. Belum waktunya makan siang sih, tapi kalau sudah lapar dan makanannya tersedia, ya makan sajalah. Ya kan?

Pengunjung lain ada yang melintas di jalan setapak dekat menara. Satu di antaranya berteriak, “Ular! Ular! “ Anak-anak kelompok dua, Kak Mai, saya, dan Bu Yanti berlari ke arah mereka. Benar saja, ada ular kecil berwarna hitam bergaris coklat yang ada di dekat jalan setapak. Ia melata dengan cepat kemudian menegakkan bagian depan tubuhnya sebelum menghilang ke bawah pohon. Kata Kak Mai, itu adalah ular pohon. Tak sempat ditangkap karena gerakannya cepat sekali.

Selanjutnya kelompok ke dua menaiki menara, bergantian dengan kelompok pertama. Mereka diminta mengamati pepohonan sekitar, mendengar cericit burung, menemukan gerakan tak biasa di sekitar atas pohon. Bergantian mereka menggunakan binokular yang dipersiapkan panitia. Sayang, sekian lama berada di menara mereka tak menemukan burung. Padahal sewaktu kelompok pertama mengamati, mereka menemukan burung kutilang, burung masjid, dan tupai. Kata Kak Lana, udara sudah bertambah panas dan matahari meninggi sehingga burung-burung beristirahat. Ya sudah tidak apa-apa. Mereka sudah mendapatkan pengalaman lain yang tidak dimiliki kelompok pertama: menemukan ular tanah.

Lalu kita berjalan kembali ke arah kedatangan. Kita beristirahat untuk makan siang dan solat zuhur. Ketika beristirahat, anak-anak melihat kodok melompat di sekitar musola. Bergerombollah mereka mendekatinya. Hahaha ciri khas anak kota ya, norak melihat bagian lain dari ciptaan Allah di alam luas. Bisa jadi karena memang belum pernah melihat kodok secara langsung. Kak Lana menyuruh mereka untuk mendatangi bagian depan kodok jika hendak menangkapnya. Azza berhasil menangkap dengan tangan berbalut kantong kresek hehe.

Penjelajahan berikutnya anak-anak dibagi menjadi dua kelompok yang sama banyak. Anggotanya sudah berbeda komposisi dengan kegiatan sebelumnya. Mereka diminta berjalan ke arah yang sama namun dengan cakupan pencarian yang berbeda. Kali ini mereka diminta mengamati pohon dan jalan untuk mencari hewan apapun yang ada. Jika sudah menemukannya, segera panggil Kak Lana atau Kak Mai untuk membantu menangkapnya. Mereka menemukan kodok, belalang, dan kadal pohon. Sayangnya hanya kodok yang berhasil ditangkap. Lainnya, wush! Menghilang secepat kilat.

Ketika berjalan menuju lokasi pembuatan bivak, kami menemukan satu pohon besar yang sudah tumbang. Dahannya yang meliuk-liuk menarik minat anak menaikinya. Tanpa dikomando, mereka naik dan bertengger di atasnya. Ada dua anak yang tidak melanjutkan sampai ke atas: anak saya dan Azza.

Selanjutnya kami ke lokasi pembuatan bivak. Di sini lahannya cukup luas dan relatif datar. Ada pepohonan yang memiliki juntaian tali (saya tidak tahu ini bagian apa dari pohon tersebut). Juntaian tali itu nantinya dipotong untuk dijadikan tali pengikat bivak. Anak-anak bekerja sama membangun bivak. Tongkat yang relatif sama tinggi dan kuat dijadikan tiang bivak. Tongkat lainnya ada yang dijadikan pasak.

Kemudian kami duduk melingkar. Pengamatan kodok dimulai. Ada delapan ekor kodok yang berhasil ditangkap. Satu per satu diteliti. Mulai dari pengukuran tubuh, bentuk mata, pola kulit, bentuk kaki, sampai suaranya.  Ada anak yang bertugas memegang kodok, ada juga yang mengukur dan mengamatinya, ada yang mencatat laporan pengamatan, ada yang menggambar hasil pengamatan, dan ada yang melepas kodok kembali ke alam.

Setelah itu kami bergantian menceritakan kesan dan pesan mengikuti kegiatan JFFJ. Sebagian besar senang dan berminat mengikuti kembali kegiatan serupa. Malah minta pindah lokasi ke Gunung Salak bahkan ke Gunung Himalaya. Hahaha. Tapi ada juga yang tidak mau ikut lagi. Alasannya capek atau merasa sudah cukup sekali saja, termasuk anak saya. Hahaha. Ya sudah, tak apa. Tak perlu memaksa semua anak menjadi penjelajah kan, ya. Barangkali minatnya belum muncul atau memang bukan minatnya di bidang sains. Tak apa, dunia indah karena berwarna-warni , ya kan? (ibu menghibur diri hihihi).

Ya, kegiatan selesai ditutup dengan doa dan foto bersama. Kami kemudian kembali ke musola untuk solat asar dan beristirahat sambil menunggu jemputan pulang ke rumah masing-masing .

Ah, ya. Di tengah jalan kami menemukan pohon yang dahannya lentur. Anak-anak berayun-ayun di sana. Seru! 
😊

*******

Kondisi Hutan Kota Srengseng Jakarta Barat dalam sekilas pandangan saya:

1.Lahan seluas 15 hektare ini sebenarnya sangat baik untuk menjadi wahana edukasi alam maupun wisata. Sayangnya fasilitasnya sangat minim dan tidak terawat.

2.Musola sudah baik dan cantik tapi sayangnya tempat wudu tidak dipisahkan untuk pengunjung laki-laki dan perempuan. Mengingat muslimah saat ini sudah banyak yang berhijab, rasanya perlu diperbaiki tempat wudu tersebut. Selain dipisah dari pengunjung laki-laki, juga dibuat tertutup agar pengunjung wanita berjilbab lebih leluasa berwudu.

3.Toilet di seberang musola ada empat pintu. Sayangnya ada toilet yang tidak berkunci selot. Ada sih yang memakai kunci darurat berupa kayu kecil yang dipaku dan menjadi penghalang terbukanya pintu dari luar. Tapi ya deg-degan aja kalau sedang buang hajat di dalam. Selain itu, pintunya sudah lapuk. Bahkan di salah satu pintu bagian bawahnya sudah tergerus cukup tinggi. Membuat waswas jika berada di dalamnya.

4.Danau buatan sayang sekali tidak terawat dengan baik. Airnya surut sangat dalam dan menyisakan lumpur. Memang di sisi lainnya air masih tinggi walaupun tidak sampai atas danau. Tapi masih cukup untuk ikan berenang. Buktinya, masih saja ada warga yang memancing di sana. Ah, ya, air danau dialirkan dari kali menyebabkan aroma yang menguar tidak sedap.

5.Hutan kecil di tengah danau pun tak terawat. Saya tidak menemukan jembatan menuju ke sana. Padahal potensial sekali menjadi tempat wisata. Jika dirawat, hutan kecil itu bisa menjadi daya tarik pengunjung. Bisa dibuatkan jembatan goyang dari bambu menuju ke sana atau melalui rakit di danau jika airnya tidak kotor dan bau tentunya.

6.Saya menemukan tembok yang terbuka di salah satu sisi hutan. Sehingga dengan mudah orang berlalu lalang tanpa harus membayar tiket masuk dan memarkirkan kendaraannya di lahan parkir hutan kota. Walaupun tiketnya sangat murah, masih saja ada yang memilih memasuki hutan kota melalui tembok terbuka tersebut.

7.Konon dulunya lokasi hutan kota ini adalah tempat pembuangan sampah. Tak heran jika masih ditemukan sampah pelastik yang masih utuh. Padahal merek produk tersebut sudah berganti gambar kemasan. Ada pula sampah besar seperti kasur dan bantal juga belahan besar tong penampung air. Seharusnya sampah-sampah begini diangkut dan dimusnahkan.

8.Di salah satu sisi hutan terdapat bangunan kecil seperti bekas kantor. Kini terbengkalai dan rusak. Entah kenapa tak dipergunakan lagi. Padahal bisa dioptimalkan untuk pelayanan pengunjung. Mungkin bisa dijadikan toilet alternatif  bagi pengunjung karena kalau harus ke arah depan hutan setiap kali buang hajat, repot juga.

Berharap Pemda DKI Jakarta bisa memperbaiki fasilitas hutan kota. Juga bisa menambah koleksi tumbuhan (juga satwa barangkali) agar hutan kota benar-benar bermanfaat untuk kesejukan dan kelestarian lingkungan serta memuaskan edukasi alam bagi pengunjung.

Berikut ini keseruan dalam gambar 😊

Yang ini kolase hasil jepretan saya


Yang ini kolase hasil jepretan panitia