Senin, 22 Desember 2014

Hamil Tak Bahagia?

"Hamil kok nggak bahagia gitu sih? Apa-apa dilarang!"

Aku tidak lagi melanjutkan kisah pengobatanku usai seorang kerabat berucap seperti itu.

Aku dan suamiku adalah salah satu di antara banyak pasangan yang "tidak tokcer". Kami tak pernah menggunakan alat kontrasepsi atau berencana menunda kehamilan setelah menikah di tahun 2007. Namun sampai di tahun ke-dua pernikahan, aku tak kunjung berbadan dua.

Kami sudah memeriksakan diri ke dokter. Kondisi kami baik-baik saja. Seorang kawan menunjukkan jalan. Ia memperkenalkan kami dengan seorang terapis. Kamipun mencoba berobat padanya.

Pengobatan yang kami lakukan sangat simple. Intinya, kami "dipaksa" hidup sehat. Cara yang paling utama adalah memantang makanan. Pasalnya, selama hidup kami, tubuh kami sudah terlalu banyak mengonsumsi makanan tidak sehat. Gaya hidup kamipun tidak terlampau sehat. Maklum, saat itu kami berdua "orang lapangan" yang kegiatannya menguras energi dan mengonsumsi makanan "seketemunya".

Sebagai perempuan yang akan dimasuki kehidupan manusia lain di dalam rahim, aku mendapatkan pantangan makanan yang jauh lebih banyak ketimbang suami. Masa pantangankupun lebih panjang dari suami. Jika suami hanya memantang sampai berhasil membuahiku, maka aku hingga melahirkan bayi kami.

Masalah pantang-memantang inilah yang dikatakan kerabatku sebagai "ketidakbahagiaan". Wanita hamil akan berubah menjadi pemakan segala dalam jumlah yang luar biasa. Sementara aku diminta untuk memantang ini dan itu. Nyaris semua makanan kesukaanku masuk dalam daftar pantangan.

Benarkah aku tak bahagia menjalani kehamilanku?

Perempuan pasti ingin memiliki keturunan yang lahir langsung dari rahimnya. Akupun begitu. Setelah dua tahun menanti dua garis merah tercetak pada lembar testpack kemudian dinyatakan hamil, bagaimana rasanya? AKU BAHAGIA LUAR BIASA!

Bagaimana dengan pantangan ini dan itu? Tentu saja aku jalani sampai tuntas. Masih banyak jenis makanan yang terdapat di dunia ini. Pantangan yang kudapatkan, sebagian besar adalah makanan cepat saji, berpengawet, berwarna, berkarbonasi, berkarbon, memiliki rasa yang tajam, bau yang tajam, dan mengganggu stabilitas hormon. Jenis-jenis makanan ini memang sudah seharusnya dikurangi bahkan dihindari jika ingin sehat. Hal itu sudah sering muncul dalam artikel-artikel kesehatan.

Aku masih bisa makan enak kok. Makanku juga banyak. Aku tetap mengemil. Semuanya makanan sehat.

Terserah jika orang menganggapku tidak bahagia. Bahagia itu di hati, bukan di makanan. Kuniatkan saja upaya kami ini sebagai memilah dan memilih asupan terbaik bagi calon anak kami. Sejak ia masih di dalam kandungan, kami berhati-hati memberinya nutrisi. Dengan sendirinya, akupun membekali diri dengan hal-hal positif lainnya. Aku banyak membaca tentang kesehatan ibu dan anak, merutinkan tilawahku yang bolong-bolong, mendengarkan hal-hal positif, "mengobrol" dengan calon anakku tentang apa saja dengan bahasa yang baik,

Sekarang anakku sudah berusia 4 tahun 10 bulan. Ia sehat dan pintar. Aku bertambah bahagia. Dan sepertinya, aku ingin lagi menjalani "ketidakbahagiaan" ala kerabatku itu. ;)





Kamis, 02 Oktober 2014

Faiz Mengenal Batik

Putraku, Faiz (4 tahun) punya satu helai kemeja batik. Tak pernah dipakai karena tidak ada acara yang mengharuskannya berpakaian "baik" (dia senang berkaos ria. Namanya juga anak-anak..).

Kemudian datanglah hari itu. Kami mendapat undangan sunatan salah satu kerabat. Faiz kupakaikan kemeja batik. Dia senang sekali. Warna merahnya cocok dengan kulitnya yang terang. Dipuji cakep, dia makin senang.

Keesokan harinya, kami mendatangi undangan pernikahan kawan suamiku. Karena Faiz ingin pakai baju batik, maka kupakaikan kembali kemeja batiknya. Tentu saja aku sudah mencucinya sepulang kondangan sunatan. Sudah menjadi kebiasaan Faiz jika suka dengan satu pakaian, maka pakaian itu akan berstatus 'cukerpa' alias '(setelah di-) cuci, kering, pakai (lagi)'.

Mumpung masih segar soal batik, di hari berikutnya aku mengajak Faiz ke Museum Tekstil. Jaraknya dekat dengan tempat kami tinggal tapi belum pernah sekali pun kami ke sana. Pagar museum yang tertutup pedagang barang bekas membuatku malas bertandang. Tapi sekarang sudah lebih baik. Tidak menutupi semua kawasan. Museum bisa terlihat jelas dari jalanan.

Memasuki kawasan museum, kita tidak seperti berada di Jakarta. Kami tidak kepanasan karena gedungnya yang tua dan besar. Dilingkungi banyak pohon rindang menambah kesejukan.

Saat itu koleksi museum masih seputar nuansa Islami. Tema yang diangkat jelang bulan Ramadhan meski kami ke sana usai bulan Syawal.

Faiz senang berada di dalamnya. Ia memuji kain-kain itu. "Wah, bagus ya, Bu!"

Kain-kain batik bertuliskan kalimat ilahiyah banyak dipamerkan. Ada pula kain-kain sarung dan tenun khas Indonesia. Dan tentu saja penutup kepala pria serta wanita juga dipajang di sana.

Di beberapa kain dijelaskan bila di masa lalu, penutup kepala menjadi ciri khas berbagai suku. Bukan terkait keyakinan, tapi kebiasaan. Jadi kerudung bukanlah hal baru di Indonesia. Bahkan di Bima, perempuan yang belum menikah terbiasa mengenakan dua potong sarung. Satu untuk pakaian bawah (semacam rok) dan lainnya untuk membungkus badan hingga kepala. Mereka yang belum menikah dianjurkan membungkus bagian atas sampai ke wajah. Jadi hanya sepasang matanya saja yang terlihat. Tampak tak asing kan? Semacam niqab.

Namun di kebanyakan tempat di Indonesia, penutup kepala perempuan hanya sehelai kain tipis di kepala. Selendang atau kerudung.

Yang menarik, ada satu macam cara mengenakan kain di atas kepala yang dililit lalu diikat mati di salah satu sisi kepala. Saya teringat beberapa hari lalu ada kawan yang memposting foto parodi tutorial hijab menggunakan sarung. Lalu kemudian ada selebaran mengenai lomba kreasi hijab dengan sarung. Jika dilihat, kurang lebih mirip dengan yang dilakukan para leluhur kita. Jadi sebenarnya bukan tren baru dong..

Usai berkeliling melihat kain, kami melihat ruang tenun. Di sana banyak terdapat mesin tenun tradisional pemberian pemerintah daerah. Sayangnya tidak tertata dengan apik sehingga tak menarik. Ruangannya pun sempit dan gelap. Tidak tersedia langkah-langkah menggunakan alat-alat tersebut. Padahal asik jika tersusun dari mulai alat memintal benang, menenun, sampai menjadi kain. Apalagi kalau pengunjung diberi kesempatan menenun.

Kemudian kami menuju bagian belakang museum. Ini adalah pendopo favorit pengunjung karena kami bisa belajar membatik. Untuk selembar kain mori seukuran saputangan, kami dikenakan biaya Rp 40.000. Faiz memilih gambar burung dengan latar belakang bunga berdaun. Kami berdua menjiplaknya di atas kain sambil menunggu lilin mencair.

Saat membatik, Faiz tekun sekali. Tapi lama-lama dia kesal sendiri karena gambar yang dipilihnya terlalu banyak detil. Akhirnya dia mulai semaunya. Lilin pun mbleber ke mana-mana. Dia menolak dibantu tapi ingin cepat selesai. Ya sudah terserah saja deh. (tahan diri supaya kepala tidak berasap)

Saat itu ada tiga pengunjung lain yang sedang membatik. Ketiganya perempuan dewasa. Satu di antaranya bule. Motif yang dipilihnya cantik sekali. Dia sangat tekun memberi lilin garis-garis pensil yang dibuatnya.

Faiz selesai duluan (tentu saja...) meski dia yang terakhir datang ke pendopo. Kain Faiz kemudian diberi penguat motif dan dilelehkan lilinya. Lalu diberi warna sesuai permintaan Faiz; merah. Jadilah saputangan batik bergambar...entahlah hahaaaha..

Setelah itu kami pun beriatirahat di salah satu gazebo. Faiz memilih gazebo terdepan. Di sana ada serangkaian angklung minimalis. Faiz asik mendorong-dorong angklung-angklung itu. Kuberi tahu cara memainkannya, dia tak mau. Ya sudah biar saja yang penting dia senang tapi satu syaratnya; hati-hati jangan sampai angklung-angklungnya jatuh dan pecah.

Museum Tekstil di Tanah Abang ini asri sekali. Banyak pohon di kawasan tersebut. Ada taman khusus berisi aneka tanaman pewarna kain dan taman serat kain. Ada taman bergazebo yang bisa digunakan kelompok untuk bersantai atau berdiskusi dengan tenang dan nyaman. Ada pula taman dengan beberapa set kursi dengan meja berpayung. Jadi ada beberapa alternatif tempat berkumpul yang nyaman.

Menyenangkan bisa bermain di museum. Tak ada kesan angker dan membosankan di sini. Faiz malah betah tak mau pulang. Jadinya kami berfoto ria di mana saja. Banyak spot cantik di sana. Dan Faiz teuteup pamer saputangan batiknya.

Saat di perjalanan pulang (setelah lama membujuk), Faiz berkata padaku, "Bu, Faiz mau punya baju batik lagi!"

Oalah kenapa nggak bilang dari tadi to..kan bisa lompat ke Pasar Tanah Abang. Eh, ini sih emaknya nggak peka kali ya...

Selamat Hari Batik, kawan! Cintai budaya kita, yuk!

Minggu, 15 Juni 2014

[Resensi (Bukan) Salah Waktu] Kisah Para Narapidana Masa Lalu

Hanya ada tiga tempo kehidupan manusia; masa lalu, kini, dan yang akan datang. Semua terjalin dan membentuk pribadi masing-masing orang. Namun tak jarang, ada saja yang tak bisa beranjak dari masa lalu. Mereka yang rela menjadi narapidana masa lalu inilah yang menjadi tokoh-tokoh dalam novel perdana Nastiti Denny, (Bukan) Salah Waktu.  

Sekar, perempuan mandiri yang tengah menapaki peran barunya sebagai ibu rumah tangga. Trauma masa kecil yang tak pernah ia bagi pada siapapun, termasuk suaminya, semakin membelit jiwa. Ia pun menjadi berjarak dengan Prabu, suaminya. Apalagi ketika masa lalu suaminya terkuak dan menghadirkan sesosok anak di hadapan mereka. Prabu dan Sekar sama-sama melihat wujud lain dari pasangannya, yang tak pernah mereka kenali sebelumnya.  

Yani, mama Sekar adalah satu dari sumber trauma puterinya. Ketika ia menyadari, semua sudah terlambat. Luka yang dibuatnya terlalu dalam dan terus menganga di hati Sekar.  
Bram dan Larasati, kakak beradik yang dengan rapi merencanakan upaya memorakporandakan rumah tangga Prabu dan Sekar. Bagian masa lalu Prabu yang muncul dengan penuh kebencian. Saat mereka menyadari jika Prabu dan Sekar bukanlah sasaran yang sebenarnya, rumah tangga pasangan suami istri itu telanjur sudah di ujung tanduk.  

Tokoh-tokoh ini hadir dengan karakter yang kuat. Konflik di antara mereka terjalin rapi dan mencengangkan. Penulis mampu merajut kisah para narapidana masa lalu ini dengan runut meski dengan cara bermain puzzle. Setiap keping cerita punya tempat tersendiri. Kadang kala penulis "nakal" membuat pembaca meletakkan keping puzzle yang salah. Tapi mengasikkan.

Kehidupan para tokohnya mencerminkan gaya hidup pasangan muda masa kini. Kesibukan mereka menjadi pekerja kota besar yang tinggal di kota penyangga. Juga ketergantungan yang amat besar pada pembantu rumah tangga.

Pada sampul depan tercantum Pemenang Lomba Novel "Wanita dalam Cerita". Merujuk pada isi cerita maupun lomba yang diikuti, novel ini menyasar wanita dewasa. Sayangnya sampul depannya tidak mencerminkan kedewasaan. Merujuk pada waktu dengan menampilkan gambar jam dan angka yang bertebaran, gambar tersebut sebenarnya cantik untuk sampoul novel. Hanya saja tidak cocok untuk novel dewasa karena terkesan remaja.


"Aku Terjebak Masa Lalu"
Nastiti senang sekali mencantumkan kapan suatu kejadian berlangsung. Entah dengan tempo bulan, hari, bahkan jam. Dengan begitu, jadi terlihat bila peristiwa di dalam novel ini berlangsung kurang dari enam bulan. Sayangnya, jika tak berhati-hati, akan nampak kejanggalannya.

Salah satunya adalah kehamilan Sekar. Dikatakan Sekar resign dari kantor pada awal tahun. Perkiraan saya adalah akhir Januari karena pada satu adegan disebutkan Sekar menyambut bulan Februari dengan berjalan-jalan bersama teman bekas kantornya. Lalu bertubi-tubi terjadi permasalahan dalam rumah tangganya bersama Prabu selama dua pekan sehingga hubungan mereka merenggang. Di masa itu, Sekar disebut sedang hamil. Berarti sekitar bulan Februari atau awal Maret (jika terjadi perselisihan beberapa pekan pasca resign). Namun kemudian dalam epilog disebutkan ulang tahun Wira di bulan Mei, Sekar tengah hamil besar. Bila itu adalah di tahun yang sama, Sekar masih hamil muda. Namun bila di tahun berikutnya, Sekar tentu sudah melahirkan.

Kesukaan penulis pada detil tidak diimbangi dengan konsistensi. Di awal cerita, disebutkan bahwa Toni Wirawan, ayah Prabu adalah direktur sebuah perusahaan minyak (hal. 13). Namun kemudian ketika muncul permasalahan Prabu dengan Larasati dan Bram, Toni disebut sebagai pejabat badan pertanahan (hal. 108).
Kemudian Marni saat mengajukan pulang kampung menyebut bahwa kakaknya yang tinggal di dekat rumah orang tuanya terkena stroke dan adiknya berumah tangga di Kalimantan (hal. 37). Namun kemudian saat pulang kembali ke rumah Sekar, Marni menyebut kakaknya yang dari luar kota kembali ke kampung halaman dan membeli sepetak tanah di sana (hal. 223).

Di luar itu, saya memberikan apresiasi buat mba Nastiti Denny. Novel bertema rumah tangganya ini memberikan wawasan yang kerap diabaikan. Seolah masa lalu begitu penting sehingga sulit melangkah dan merasa sulit keluar darinya. Memang tiap orang bisa memilih bagaimana ia akan menjalani hidupnya. Tapi seperti Nastiti katakan dalam novelnya, Cinta terkadang memang sesederhana memaafkan masa lalu...

Judul Buku: (Bukan) Salah Waktu
Penulis: Nastiti Denny
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun terbit: Desember 2013, Cetakan Pertama






Sabtu, 14 Juni 2014

(Buku Antologi) Once More Ramadhan

Hore! Saya punya buku lagi! Alhamdulillah.. Masih buku keroyokan sih, belum solo. Hehehe... Tapi tetep seneng banget!

Kali ini bukunya tentang kisah inspiratif terkait hulan suci Ramadhan. Nah, dua pekan lagi kita akan beramadhan. Insya Allah pas di waktu tersebut, buku ini sudah hadir di toko-toko buku.
Ini adalah buku antologi kami, Be A Writer Community. Audisi dilakukan internal sejak awal tahun dengan PJ mba Adya Pramudita. Buku Once More Ramadhan ini diterbitkan oleh Grasindo.

Saya punya dua naskah di sini. Satu, cerita tentang Ramadhan di rumah sakit dengan tingkat galau yang luar biasa karena bapak harus menjalani operasi berisiko tinggi tahun lalu. Kisah tersebut berjudul (Mudah-mudahan) Bukan Ramadhan Terakhir. Dua, kenangan masa kecil saya tentang kebiasaan almarhumah Emak, nenek saya, yang suka membuat besek daun pisang tiap kali jelang lebaran. Judul kenangan itu sama dengan nama besek khas Emak, Sangu Cangkedong.

So, segera dapatkan bukunya ya! Dijamin banyak hikmah yang bisa diambil dari cerita-cerita di dalamnya.

Rabu, 02 April 2014

Curhat Dimuat! (Pertama Kali Tembus Media)

Pagi ini mama mertua memberikan sebuah majalah Ummi kepada saya. Di situ tertulis pengirimnya adalah PT Insan Media Pratama, penerbit majalah Ummi dan Annida. Tentu saja saya sangat senang karena memang sudah saya nantikan. Saya malah mengira baru akan diterima besok, tanggal 3. Saya sempat bertanya pada admin @majalahUMMI tentang masa terbit bulanannya.

Ceritanya, saya mengirimkan curhatan saya pada 15 Januari. Ada dua curhatan yang saya layangkan pada dua media berbeda. Lalu di akhir Februari saya mendapatkan jawaban dari Majalah Ummi bila karya saya layak muat untuk edisi April. Karena saya belum melampirkan foto, maka saya harus segera mengirimkan selambat-lambatnya tiga hari setelah kabar tersebut.

Waduh, foto-foto saya kebanyakan bersama anak jadi kudu foto lagi. Hehehe. Saya minta suami mengambil foto lalu saya mengirimkannya. Itupun dengan meminjam laptop kakak ipar saya. Kebetulan dia membawanya jadi saya bisa edit dan kirim. Soalnya sudah lebih dari setahun saya tidak lagi memakai laptop apalagi komputer. Sudah pada almarhum dan belum ada gantinya hihihi. Mengirim curhatan ke majalah pun via ponsel. Alhamdulillah tak besar filenya jadi bisa terkirim.

Senang rasanya bisa tembus media. Biarin norak juga ya hehehe...

So, saya korek-korek lagi deh curhatan emak-emak. Siapa tahu ada yang nyantol lagi di media yang sama ataupun media lain. Aamiin.

Oya ini tulisan yang dimuat di rubrik Nuansa 
Wanita: Kalah oleh Amarah. 

Kalah Oleh Amarah

"Bu, pinjem hape!" seru putera saya, Faiz. Saya mengangguk. Faiz memang senang melihat foto dan video aksinya yang aaya rekam di ponsel itu. Dia berlari sambil membawa ponsel putih yang casing-nya nyaris lepas karena salah satu sisinya patah. Tutup baterai juga telah longgar. Tapi ponsel itu terbilang baik-baik saja meski "lola" alias loading lama.

Saya masih menonton TV saat Faiz menirukan kata-kata yang sering saya lontarkan, "handphone-nya nge-hang!"

"Bu, maaf ya, 'ininya' nggak bisa masuk," kata Faiz tiba-tiba sambil menyodorkan ponsel.

Ketika saya terima, spontan saya berseru, "Astaghfirullahal'adzim, Faiz!" Saya pandangi dia dengan marah. Micro SD berkapasitas delapan gigabyte terbelah dua. Rupanya dia berasumsi ponsel bermasalah karena posisi micro SD yang tidak tepat. Maka ia tarik lalu memasukkannya lagi dengan posisi terbalik. Tentu saja tidak akan pas. Karena itulah ia mendorong paksa, akhirnya patah.

"Kenapa nggak kasih ibu aja kalau Faiz nggak bisa pasang? Kalau begini, kan, Faiz juga tidak bisa lihat foto dan nonton video lagi!" cerocos saya masih dengan amarah.

Saya kesal bertubu-tubi. Pertama, karena file dalam micro SD itu belum saya pindahkan ke laptop. Kedua, karena saya harus kehilangan banyak momen indah dalam hidup yang tersimpan di kartu tersebut tanpa sempat menyelamatkannya. Ketiga, karena sudah mengizinkan balita, yang belum genap empat tahun, bermain dengan ponsel yang ngadat tanpa pendampingan.

Saya marah, tak tahu harus berbuat apa. Melihat jam sudah mendekati waktu tidur siang, saya menyuruhnya ke kamar. Meski sempat enggan, Faiz menurut juga. Saya ucapkan zikir untuk meredam amarah.

Di kamar, saya hempaskan tubuh di kasur. Bahkan saat suami menanyakan apa yang terjadi, saya jelaskan dengan ketus. Ternyata saya masih terselimuti amarah sampai-sampai bersikap menyebalkan pada suami.

Faiz duduk di dekat saya dan mulai menangis. Saat ayahnya bertanya, Faiz menjelaskan dengan terpatah-patah. Dia menangis karena melihat saya marah-marah dan berjanji tidak akan mematahkan kartu ponsel lagi (maksudnya micro SD).

Suami saya mengingatkan Faiz untuk meminta maaf dan tidak mengulangnya kembali. Ia mengangguk.

"Bu, maafkan Faiz ya? Faiz nggak akan patahin lagi kartu di hape Ibu."
"Iya. Sok tidur!"

Tak lama iapun tidur. Wajahnya amat polos. Tiba-tiba mengalir air dari kedua mata saya tanpa bisa ditahan. Betapa saya kalah oleh amarah. Akibatnya saya melukai perasaan anak. Apalah artinya kehilangan memori ponsel delapan gigabyte bila ternyata saya memutus entah berapa miliar byte kemampuan otak anak saya. Karena konon, suara keras dan membentak dapat menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh.

Astaghfirullaahal'adzim.

(dimuat di Majalah Ummi No 4/ XXVI/April 2014/1435 H)

Senin, 30 Desember 2013

Memilih Bahagia (Sebuah Review Novel The Mocha Eyes)

Senang sekali sewaktu membeli buku ini. Kenapa? Karena saya mendapat potongan harga dari si penjaga toko. "Saya kasih potongan harga buat Ibu," kata si mas-mas penjaga toko. Katanya, karena saya sering berkunjung dan membeli buku di tokonya. Wah terharu...padahal saya adalah pembeli yang gemar buku obralan di boks, jarang beli yang di rak. Hehehe, maafkan saya wahai para penulis...


Judul buku: The Mocha Eyes
Penulis: Aida MA
Penyunting: Laurensia Nita
Penerbit: Bentang
Tahun Terbit: Mei 2013, cetakan I


"Bahagia itu sekarang, Ara! Di sini, menunggumu dengan senyuman." (Halaman 83)

Benar, bahagia itu pilihan dan hanya ada sekarang, saat ini. Ketika memilih bahagia, maka langkah akan ringan dan kebahagiaan itu akan menebar, melebar, menyempurna. Ini berdasarkan pengalaman pribadi maka saya sangat setuju dengan ucapan ibunda Muara itu.

Usai membaca novel ini beberapa waktu lalu, saya mendapati berita kehamilan seorang mahasiswi lantaran eksploitasi seksual oleh salah satu budayawan ternama. Peristiwa itu membuka mata saya. Perempuan begitu rentan hancur dan dihancurkan.

Saya yakin perempuan seperti Muara tidak sedikit; perempuan korban pelecehan seksual. Sebagian berani melaporkannya pada polisi seperti RW dalam kasus di atas. Tapi lebih banyak lagi seperti Muara yang menarik diri, menyalahkan diri, merasa dunia tak adil padanya, menjauh dari dunia yang pernah menjadi miliknya. Mereka berjuang mengalahkan dirinya, mengentaskan amarahnya, memaafkan diri dan masa lalu.

Itu tidak mudah. Prosesnya bisa sangat panjang. Traumanya tak bisa hilang. Satu kehidupan telah hancur. Muara berhenti kuliah dan memilih menjadi pekerja apa saja, tanpa ambisi, tanpa harapan. Sekadar berupaya hidup normal.

Meski ada ibu yang tak henti mendorong keluar dari kegelapannya, Muara tetap bergulung dalam sedihnya. Ia memilih seperti itu. Memiliki Damar sebagai kekasih juga tak membuatnya bahagia. Bahkan kemudian membuat luka lain dalam hati Muara. Semakin ia bergelung dalam pekat.

Sampai kemudian Fariz, seorang motivator, memberinya moka. "Kalau kamu mengandaikan hidupmu sebagai kopi yang pahit, sekalipun ada hari yang manis, kamu akan tetap merasa pahit. Begitu juga bagiku, hidupku itu seperti cokelat yang gurih. Maka, sekalipun ada yang pahit, aku akan mencoba menetralisasi. Kalau kamu terlalu sulit untuk memahami maka aku memberikan jembatan ini.... Cangkir yang menghubungkan dua hal ini, kopi dan cokelat untuk menjadi moka. Dua cangkir ini hanya untuk menggambarkan hidup secara lebih realistis meski membingungkan, ada pahit dan ada gurih. Hidup itu secangkir moka!" (halaman 139)

Moka secara fisik dan juga filosofis. Keduanya diberikan Fariz pada Muara. Di sinilah gerbang hidup Muara kembali bersinar. Ia tak lagi menutupi dirinya. Fariz mendapatkan kepercayaan darinya juga cintanya. Muara tidak kembali seperti dulu tapi menjadi Muara yang baru. Saat itulah ia sadar, Fariz bukan hanya miliknya.

Seorang motivator favorit klien itu memiliki Meisha, perempuan cantik nan cerdas yang selalu berada di sisinya. Akankah kemudian Muara kembali terpuruk dan menutup gerbang hidupnya yang baru saja bersinar? Bagaimana cara Muara memilih bahagia?

Sebuah kisah yang emosional. Pergolakan batin seorang korban pelecehan tergambar baik. Perubahan karakter Muara yang semula ramah dan ceria kemudian menjadi antisosial bisa saya rasakan. Begitu juga saat Muara kembali menjadi sosok yang baru. Peralihan suasana cerah ke muram lalu kembali bersinar perlahan pada diri Muara saya acungi jempol. Hanya saja pada sosok Fariz, saya tidak merasa ia adalah tokoh yang membumi. Dia seperti tokoh dalam televisi. You know, he's too good to be true.

Tokoh ibu saya suka. Dapat dirasakan keteguhan hatinya dan kesabarannya yang tinggi. Ibu semacam itulah yang memang pantas menghadirkan sosok Muara. Sayangnya, tokoh Maya tak diketahui rimbanya. Saya rasa, tokoh itu bisa lebih hidup dalam proses atau mungkin saat Muara berhasil keluar dari kegelapannya. Karena disebutkan penulis, Maya adalah tokoh yang tulus.

Over all, The Mocha Eyes adalah novel yang manis dan filosofis. Banyak pesan yang terkandung di dalamnya tanpa merasa dihakimi. Termasuk kampanye anti rokok. Bahasanya ringan dan mengalir, khas Mbak Aida M.A. Konflik dan pemecahannya rapi tersusun. Nyaman membacanya.

Sebenarnya saya bukan pembaca yang rewel dengan typo atau keganjilan adegan. Tapi untuk yang satu ini, saya terus memikirkannya lantaran geregetan. Apakah penulis salah mengetik atau saya salah menggambarkannya karena saya adalah pembaca yang visual; selalu membayangkan apa yang dideskripsikan penulis.

Pada halaman 156 tertulis Fariz menyalakan mesin mobilnya lagi, membayar uang parkir, kemudian mengemudikan mobilnya menuju rumah Mei. Fariz membiarkan wanita itu terus saja menyandarkan kepalanya di lengan kanan Fariz.

Adakah yang merasa ganjil dengan deskripsi dua kalimat tersebut? Kalau saya, merasa aneh dengan posisi lengan yang menjadi sandaran kepala si wanita. Pasalnya mobil yang dikendarai Fariz menurut penulis di halaman 144 adalah mobil keluaran Jepang. It means, posisi pengendara ada di sebelah kanan mobil. Jika Fariz menyetir, maka di sebelah kanannya adalah pintu mobil. Jadi, bagaimana mungkin si wanita yang menumpang menyandarkan kepalanya di lengan pengemudi?

Dan satu lagi yang membuat saya gemas. Mengapa harus lagu When I Found You dari Britney Spears yang menjadi pengiring nuansa Fariz di halaman 141? Karena menurut saya, dengan karakter yang tergambar, Britney Spears bukanlah pilihan penyanyi yang tepat untuk Fariz (he's early 30 years old and so masculine). Apalagi kemudian saat berdua bersama Muara di halaman 233, lagu yang diputarkan Fariz adalah You're all That I Need milik White Lion. Saya rasa I Finally Found Someone-nya Bryan Adams dan Barbra Streisand lebih mewakili tinimbang lagunya Britney.