"Bu, pinjem hape!" seru putera saya, Faiz. Saya mengangguk. Faiz memang senang melihat foto dan video aksinya yang aaya rekam di ponsel itu. Dia berlari sambil membawa ponsel putih yang casing-nya nyaris lepas karena salah satu sisinya patah. Tutup baterai juga telah longgar. Tapi ponsel itu terbilang baik-baik saja meski "lola" alias loading lama.
Saya masih menonton TV saat Faiz menirukan kata-kata yang sering saya lontarkan, "handphone-nya nge-hang!"
"Bu, maaf ya, 'ininya' nggak bisa masuk," kata Faiz tiba-tiba sambil menyodorkan ponsel.
Ketika saya terima, spontan saya berseru, "Astaghfirullahal'adzim, Faiz!" Saya pandangi dia dengan marah. Micro SD berkapasitas delapan gigabyte terbelah dua. Rupanya dia berasumsi ponsel bermasalah karena posisi micro SD yang tidak tepat. Maka ia tarik lalu memasukkannya lagi dengan posisi terbalik. Tentu saja tidak akan pas. Karena itulah ia mendorong paksa, akhirnya patah.
"Kenapa nggak kasih ibu aja kalau Faiz nggak bisa pasang? Kalau begini, kan, Faiz juga tidak bisa lihat foto dan nonton video lagi!" cerocos saya masih dengan amarah.
Saya kesal bertubu-tubi. Pertama, karena file dalam micro SD itu belum saya pindahkan ke laptop. Kedua, karena saya harus kehilangan banyak momen indah dalam hidup yang tersimpan di kartu tersebut tanpa sempat menyelamatkannya. Ketiga, karena sudah mengizinkan balita, yang belum genap empat tahun, bermain dengan ponsel yang ngadat tanpa pendampingan.
Saya marah, tak tahu harus berbuat apa. Melihat jam sudah mendekati waktu tidur siang, saya menyuruhnya ke kamar. Meski sempat enggan, Faiz menurut juga. Saya ucapkan zikir untuk meredam amarah.
Di kamar, saya hempaskan tubuh di kasur. Bahkan saat suami menanyakan apa yang terjadi, saya jelaskan dengan ketus. Ternyata saya masih terselimuti amarah sampai-sampai bersikap menyebalkan pada suami.
Faiz duduk di dekat saya dan mulai menangis. Saat ayahnya bertanya, Faiz menjelaskan dengan terpatah-patah. Dia menangis karena melihat saya marah-marah dan berjanji tidak akan mematahkan kartu ponsel lagi (maksudnya micro SD).
Suami saya mengingatkan Faiz untuk meminta maaf dan tidak mengulangnya kembali. Ia mengangguk.
"Bu, maafkan Faiz ya? Faiz nggak akan patahin lagi kartu di hape Ibu."
"Iya. Sok tidur!"
Tak lama iapun tidur. Wajahnya amat polos. Tiba-tiba mengalir air dari kedua mata saya tanpa bisa ditahan. Betapa saya kalah oleh amarah. Akibatnya saya melukai perasaan anak. Apalah artinya kehilangan memori ponsel delapan gigabyte bila ternyata saya memutus entah berapa miliar byte kemampuan otak anak saya. Karena konon, suara keras dan membentak dapat menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh.
Astaghfirullaahal'adzim.
(dimuat di Majalah Ummi No 4/ XXVI/April 2014/1435 H)
Hiks...jadi ingat pengalaman sendiri. Pernah marah juga sama anak..:(
BalasHapusAstaghfirullah sudah lama sekali blog ini terbengkalai dan tidak ditengok komentar yang masuk.
HapusTerima kasih sudah mampir mba. Saya rasa tiap ibu pernah merasakan. Sesudah kejadian ini pun saya masih saja marah. Duh..jadi malu..
Hiks...mrebes mili bacanya. Pernah gitu juga.
BalasHapusTapi sungguh, ketika kita bisa bertahan dan menang dari amarah rasanya legaaaa banget, dan ringan.
Semoga kita menjadi ibu yang bisa teruus merenda kesabaran. aamiin
Makasih sudah mampir mba.
HapusJadi malu blognya kelamaan dianggurin.
Aamiin aamiin aamiin semoga demikian mba. (meski malu maaih aja suka marah hiks...)