Pim meragu. Ia bingung. Aroma khas rumah sakit yang sudah bersahabat dengannya selama hampir satu tahun ini, mendadak membuatnya mual. Ia memijit-mijit pelipisnya, menimang-nimang berita yang akan ia sampaikan.
"Bu, Pak Bram melamarku."
Akhirnya Pim berkata dan menyebut nama atasannya di kantor.
"Benarkah?" tanya ibu. Pim mengangguk.
Pim tak menduga wanita berwajah lembut di hadapannya tersenyum. Matanya membulat memancarkan rasa bahagia. Mengapa ibu bisa tersenyum sementara aku sebaliknya?
Pim menunduk. Bahunya naik turun. Pipinya membasah.
"Aku harus bagaimana, Bu?"
"Terimalah!"
Lagi-lagi ibu mengejutkannya. Pim mengerenyitkan dahi. Ia kecewa. Matanya terluka. Ia lemparkan pandangan pada sisi ibu.
Wanita paruh baya itu mengerti. Dalam batinnya ia berseru: Ia harus mati.
"Pim, pulanglah! Malam ini Ibu tak usah ditemani."
Bulan depan tepat satu tahun mereka mendiami kamar di rumah sakit ini. Tabungan terkuras kering. Bulan lalu Pak Bram datang menawarkan solusi. Wanita itu menyepakatinya.
Malam pekat. Tangan wanita itu gemetar. Ia mencabut kabel dan selang penopang hidup sosok pucat yang membujur di ranjang. Matanya basah memandangi sosok muda itu, anak lelaki kebanggaannya. Hatinya teriris.
"Maafkan Ibu, Nak. Menantuku harus menikah. Karenanya Kau harus pergi."
Flashfiction ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis FlashFiction – Tentang Kita Blog Tour
Waduh :( Dijual dong menantunya :((
BalasHapusMakasih yah, udah ikutan ^^
Sadis ya mba.. Idenya dr berita2 itu lo.. Hehe.. Sukses Blog tournya mba Carra
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus