Putraku, Faiz (4 tahun) punya satu helai kemeja batik. Tak pernah dipakai karena tidak ada acara yang mengharuskannya berpakaian "baik" (dia senang berkaos ria. Namanya juga anak-anak..).
Kemudian datanglah hari itu. Kami mendapat undangan sunatan salah satu kerabat. Faiz kupakaikan kemeja batik. Dia senang sekali. Warna merahnya cocok dengan kulitnya yang terang. Dipuji cakep, dia makin senang.
Keesokan harinya, kami mendatangi undangan pernikahan kawan suamiku. Karena Faiz ingin pakai baju batik, maka kupakaikan kembali kemeja batiknya. Tentu saja aku sudah mencucinya sepulang kondangan sunatan. Sudah menjadi kebiasaan Faiz jika suka dengan satu pakaian, maka pakaian itu akan berstatus 'cukerpa' alias '(setelah di-) cuci, kering, pakai (lagi)'.
Mumpung masih segar soal batik, di hari berikutnya aku mengajak Faiz ke Museum Tekstil. Jaraknya dekat dengan tempat kami tinggal tapi belum pernah sekali pun kami ke sana. Pagar museum yang tertutup pedagang barang bekas membuatku malas bertandang. Tapi sekarang sudah lebih baik. Tidak menutupi semua kawasan. Museum bisa terlihat jelas dari jalanan.
Memasuki kawasan museum, kita tidak seperti berada di Jakarta. Kami tidak kepanasan karena gedungnya yang tua dan besar. Dilingkungi banyak pohon rindang menambah kesejukan.
Saat itu koleksi museum masih seputar nuansa Islami. Tema yang diangkat jelang bulan Ramadhan meski kami ke sana usai bulan Syawal.
Faiz senang berada di dalamnya. Ia memuji kain-kain itu. "Wah, bagus ya, Bu!"
Kain-kain batik bertuliskan kalimat ilahiyah banyak dipamerkan. Ada pula kain-kain sarung dan tenun khas Indonesia. Dan tentu saja penutup kepala pria serta wanita juga dipajang di sana.
Di beberapa kain dijelaskan bila di masa lalu, penutup kepala menjadi ciri khas berbagai suku. Bukan terkait keyakinan, tapi kebiasaan. Jadi kerudung bukanlah hal baru di Indonesia. Bahkan di Bima, perempuan yang belum menikah terbiasa mengenakan dua potong sarung. Satu untuk pakaian bawah (semacam rok) dan lainnya untuk membungkus badan hingga kepala. Mereka yang belum menikah dianjurkan membungkus bagian atas sampai ke wajah. Jadi hanya sepasang matanya saja yang terlihat. Tampak tak asing kan? Semacam niqab.
Namun di kebanyakan tempat di Indonesia, penutup kepala perempuan hanya sehelai kain tipis di kepala. Selendang atau kerudung.
Yang menarik, ada satu macam cara mengenakan kain di atas kepala yang dililit lalu diikat mati di salah satu sisi kepala. Saya teringat beberapa hari lalu ada kawan yang memposting foto parodi tutorial hijab menggunakan sarung. Lalu kemudian ada selebaran mengenai lomba kreasi hijab dengan sarung. Jika dilihat, kurang lebih mirip dengan yang dilakukan para leluhur kita. Jadi sebenarnya bukan tren baru dong..
Usai berkeliling melihat kain, kami melihat ruang tenun. Di sana banyak terdapat mesin tenun tradisional pemberian pemerintah daerah. Sayangnya tidak tertata dengan apik sehingga tak menarik. Ruangannya pun sempit dan gelap. Tidak tersedia langkah-langkah menggunakan alat-alat tersebut. Padahal asik jika tersusun dari mulai alat memintal benang, menenun, sampai menjadi kain. Apalagi kalau pengunjung diberi kesempatan menenun.
Kemudian kami menuju bagian belakang museum. Ini adalah pendopo favorit pengunjung karena kami bisa belajar membatik. Untuk selembar kain mori seukuran saputangan, kami dikenakan biaya Rp 40.000. Faiz memilih gambar burung dengan latar belakang bunga berdaun. Kami berdua menjiplaknya di atas kain sambil menunggu lilin mencair.
Saat membatik, Faiz tekun sekali. Tapi lama-lama dia kesal sendiri karena gambar yang dipilihnya terlalu banyak detil. Akhirnya dia mulai semaunya. Lilin pun mbleber ke mana-mana. Dia menolak dibantu tapi ingin cepat selesai. Ya sudah terserah saja deh. (tahan diri supaya kepala tidak berasap)
Saat itu ada tiga pengunjung lain yang sedang membatik. Ketiganya perempuan dewasa. Satu di antaranya bule. Motif yang dipilihnya cantik sekali. Dia sangat tekun memberi lilin garis-garis pensil yang dibuatnya.
Faiz selesai duluan (tentu saja...) meski dia yang terakhir datang ke pendopo. Kain Faiz kemudian diberi penguat motif dan dilelehkan lilinya. Lalu diberi warna sesuai permintaan Faiz; merah. Jadilah saputangan batik bergambar...entahlah hahaaaha..
Setelah itu kami pun beriatirahat di salah satu gazebo. Faiz memilih gazebo terdepan. Di sana ada serangkaian angklung minimalis. Faiz asik mendorong-dorong angklung-angklung itu. Kuberi tahu cara memainkannya, dia tak mau. Ya sudah biar saja yang penting dia senang tapi satu syaratnya; hati-hati jangan sampai angklung-angklungnya jatuh dan pecah.
Museum Tekstil di Tanah Abang ini asri sekali. Banyak pohon di kawasan tersebut. Ada taman khusus berisi aneka tanaman pewarna kain dan taman serat kain. Ada taman bergazebo yang bisa digunakan kelompok untuk bersantai atau berdiskusi dengan tenang dan nyaman. Ada pula taman dengan beberapa set kursi dengan meja berpayung. Jadi ada beberapa alternatif tempat berkumpul yang nyaman.
Menyenangkan bisa bermain di museum. Tak ada kesan angker dan membosankan di sini. Faiz malah betah tak mau pulang. Jadinya kami berfoto ria di mana saja. Banyak spot cantik di sana. Dan Faiz teuteup pamer saputangan batiknya.
Saat di perjalanan pulang (setelah lama membujuk), Faiz berkata padaku, "Bu, Faiz mau punya baju batik lagi!"
Oalah kenapa nggak bilang dari tadi to..kan bisa lompat ke Pasar Tanah Abang. Eh, ini sih emaknya nggak peka kali ya...
Selamat Hari Batik, kawan! Cintai budaya kita, yuk!